Senin, 21 Mei 2012

Ironikal Dunia Pendidikan Kita


                                                                             Oleh :
                                                          Armin Thurman Situmorang

Dalam buku Economic Growth terbitan tahun 2001, Paul van den Berg menulis “No School No Future”, artinya suatu bangsa tidak akan punya masa depan tanpa pendidikan. Pakar ekonomi dan mantan pekerja aktif Bank Dunia serta “decide-maker” perusahaan multinasional ini punya alasan kenapa tergugah  membuat pesan tersebut.

Tinjauannya ke berbagai belahan dunia membuktikan, sudah terlalu lama kita (negara miskin atau merasa agak kaya)  tidak bisa menafsirkan bahwa pendidikan merupakan faktor yang sangat berperan meningkatkan kemajuan bangsa. Termasuk perekonomian dan akhlak moril  kemanusiaan pada generasi mendatang.
Bahkan negara-negara maju mengetahui hal ini setelah usai Perang Dunia II. Sebelumnya, faktor yang menjadi perhatian utama pembuat kebijakan di Eropa  melulu terarah kepada eksploitasi sumber-sumber yang tidak dapat diperbaharui yaitu tanah dan modal. Makanya terjadi penjajahan atas bangsa-bangsa di belahan dunia yang terbelakang.

Hubungan yang sangat signifikan antara investasi terhadap modal kualitas manusia (human capital) terhadap kemajuan negara-negara di dunia telah dilaporkan oleh berbagai penelitian dan jurnal-jurnal ilmiah. Pendidikan menjadi bahagian penting dari investasi itu, di samping kesehatan, pelatihan (training) dan pengembangan teknologi (technology advancement).

Meski samar-samar, saat gerakan Reformasi 1998 bergulir, Indonesia agaknya mulai menyadari manfaat penting dari sektor pendidikan. Ada ruh yang menggerakkan, seolah-olah gagalnya negara mempetahankan kestabilan menghadapi krisis ekonomi 1997, adalah akibat rendahnya perhatian pemerintah mengembangkan akhlak dan kualitas SDM.  Belanja pemerintah (government expenditure) di sektor pendidikan dinilai sangat rendah.

Bahkan lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Argentina saja sudah lama mengalokasikan lebih 20 persen anggaran belanja negaranya ke pendidikan atau di atas 2 persen PDB negara Amerika Latin itu, demikian pula Filippina dan Cina. Tidak heran jika mereka mampu membangun negerinya dengan meyakinkan (convince) sehingga dilirik oleh negara maju untuk berinvestasi.

Penelitian tesis “Investasi Human Capital terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia” yang penulis kerjakan tahun 2007, pendidikan dan kesehatan mempunyai hubungan yang sangat signifikan terhadap ekonomi. Dilatarbelakangi oleh fakta para peneliti atas 8 negara Kawasan Baltic-Sea yang menemukan bahwa investasi pendidikan yang lebih besar selama 50 tahun terakhir di 4 negara,  contohnya Denmark, telah terbukti menjadikannya negara baru maju (NICs) ketimbang 4 negara tetangganya yang mengutamakan sumber daya alam (SDA).

Guna mengejar ketertinggalan, tataran kaum elit politik kita selalu berteriak agar belanja sektor pendidikan mendapat perhatian khusus. Sayangnya, para pembijak negara tidak yakin dengan konsep ini karena kebanyakan dari mereka tidak jelas lini pendidikannya. Ada “alumni sekolah bawah pohon”, ada “tukang obat koyok”, ada “aktor sulap”, ada “mafia lapuk”, ada “ahli  nujum”, “ahli silat lidah”,  tapi bisa duduk di parlemen atau bahkan menguasai permainan.

Bagaimana mungkin sekolah lanjutannya saja nggak jelas diperhadapkan dengan “academic draft” tentang kebijakan publik dari perguruan tinggi.  Bisa dipastikan, produk para penggede ini nihil political-will untuk perubahan atau perbaikan bangsa. Tidak mampu atau tidak mau memvisikan diri  “Bagaimana Indonesia 50 tahun lagi”, atau bahkan untuk 20 tahun lagipun masih kabur.

Belum lagi intrik beberapa orang penghuni negeri ini yang menghina atau melecehkan dunia pendidikan. Padahal dia menikmati “apa yang nikmat” di atas permukaan bumi ini adalah hasil nyata dari dunia pendidikan. Memang tanpa pendidikan seseorang bisa saja kaya, tapi kaya yang bagaimana ?  Meski kaya, ia akan berjalan seperti orang buta, buta mata-hati terhadap kelanjutan generasi kehidupan. Konsepnya “babat semua”, yang penting menguntungkan.

Sungguh menyedihkan memang, saat kita ingin menunjukkan kemampuan SDM guna menumbuhkan kepercayaan dunia luar, pada saat yang sama pula pembuat kebijakan dirundung kelesuan perhatian terhadap kualitas SDM.  Plaza plaza mewah atau gedung-gedung pencakar langit memang perlu dibangun, tetapi yang lebih penting sebenarnya adalah di mana anak-anak kita akan digembleng untuk bersiap diri menghadapi persaingan global.

Sangat ironis,  jika fasilitas mewah kita sediakan secara luar biasa untuk memuaskan nafsu nikmat segelintir orang berduit, sementara generasi penerus kita latih di ruang didik atau laboratorium seperti kandang kambing. Padahal di sanalah kita menyiapkan SDM yang akan mengolah seluruh sumber daya ekonomi demi kejayaan bangsa di masa depan.

Koridor pendidikan yang kita bangun tampaknya belum mampu menjawab arti universal dari pendidikan itu sendiri. Pada dasarnya, pendidikan harus ditempatkan pada porsi yang berharga (apresiatif) layaknya menempatkan berlian di atas rak “etalase kebaikan hidup”, bukan membuangnya ke dalam kotoran.

Kita menemukan kenyataan di mana penentu kebijakan dan juga masyarakat masih bersikap ambigu atau mendua-hati menyikapi kurang siapnya kita menempatkan penyelenggaraan pendidikan di tangga utama kebanggaan bangsa. Pola pikir pejabat dan masyarakat cenderung ingin merubah pendidikan, bukan bagaimana seharusnya yaitu meyakini bahwa pendidikanlah yang akan merubah sikap, opini dan income terunggul dari manusia.

Kapan kita berupaya menghapus ironikal atas dunia pendidikan dengan menghilangkan arogansi kita terhadap nilai vital pendidikan ini, hanya kita yang dapat memastikannya. Kondisi sekarang sudah nyata, kita sudah semakin buta dan tidak punya daya pengindera jauh ke depan, bahkan mulai mematikan kemampuan itu. Sehingga kita masih gagal memaknai koridor pendidikan pada tempatnya yang benar. (Penulis adalah pengamat pendidikan dan pengajar STIE &STIPER YULB Kampus II  Siranggong Labura).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar