Oleh :
Armin Thurman Situmorang
Dalam buku Economic Growth terbitan tahun 2001, Paul van
den Berg menulis “No School No Future”, artinya suatu bangsa tidak akan punya
masa depan tanpa pendidikan. Pakar ekonomi dan mantan pekerja aktif Bank Dunia serta
“decide-maker” perusahaan multinasional ini punya alasan kenapa tergugah membuat pesan tersebut.
Tinjauannya ke
berbagai belahan dunia membuktikan, sudah terlalu lama kita (negara miskin atau
merasa agak kaya) tidak bisa menafsirkan
bahwa pendidikan merupakan faktor yang sangat berperan meningkatkan kemajuan
bangsa. Termasuk perekonomian dan akhlak moril kemanusiaan pada generasi mendatang.
Bahkan
negara-negara maju mengetahui hal ini setelah usai Perang Dunia II. Sebelumnya,
faktor yang menjadi perhatian utama pembuat kebijakan di Eropa melulu terarah kepada eksploitasi sumber-sumber
yang tidak dapat diperbaharui yaitu tanah dan modal. Makanya terjadi penjajahan
atas bangsa-bangsa di belahan dunia yang terbelakang.
Hubungan yang
sangat signifikan antara investasi terhadap modal kualitas manusia (human
capital) terhadap kemajuan negara-negara di dunia telah dilaporkan oleh berbagai
penelitian dan jurnal-jurnal ilmiah. Pendidikan menjadi bahagian penting dari
investasi itu, di samping kesehatan, pelatihan (training) dan pengembangan
teknologi (technology advancement).
Meski samar-samar, saat gerakan Reformasi 1998 bergulir,
Indonesia agaknya mulai menyadari manfaat penting dari sektor pendidikan. Ada
ruh yang menggerakkan, seolah-olah gagalnya negara mempetahankan kestabilan
menghadapi krisis ekonomi 1997, adalah akibat rendahnya perhatian pemerintah
mengembangkan akhlak dan kualitas SDM. Belanja
pemerintah (government expenditure) di sektor pendidikan dinilai sangat rendah.
Bahkan lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara
ASEAN lainnya. Argentina saja sudah lama mengalokasikan lebih 20 persen
anggaran belanja negaranya ke pendidikan atau di atas 2 persen PDB negara
Amerika Latin itu, demikian pula Filippina dan Cina. Tidak heran jika mereka
mampu membangun negerinya dengan meyakinkan (convince) sehingga dilirik oleh
negara maju untuk berinvestasi.
Penelitian tesis “Investasi Human Capital terhadap
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia” yang penulis kerjakan tahun 2007, pendidikan dan
kesehatan mempunyai hubungan yang sangat signifikan terhadap ekonomi.
Dilatarbelakangi oleh fakta para peneliti atas 8 negara Kawasan Baltic-Sea yang
menemukan bahwa investasi pendidikan yang lebih besar selama 50 tahun terakhir di
4 negara, contohnya Denmark, telah terbukti
menjadikannya negara baru maju (NICs) ketimbang 4 negara tetangganya yang
mengutamakan sumber daya alam (SDA).
Guna mengejar ketertinggalan, tataran kaum elit politik
kita selalu berteriak agar belanja sektor pendidikan mendapat perhatian khusus.
Sayangnya, para pembijak negara tidak yakin dengan konsep ini karena kebanyakan
dari mereka tidak jelas lini pendidikannya. Ada “alumni sekolah bawah pohon”,
ada “tukang obat koyok”, ada “aktor sulap”, ada “mafia lapuk”, ada “ahli nujum”, “ahli silat lidah”, tapi bisa duduk di parlemen atau bahkan
menguasai permainan.
Bagaimana
mungkin sekolah lanjutannya saja nggak jelas diperhadapkan dengan “academic
draft” tentang kebijakan publik dari perguruan tinggi. Bisa dipastikan, produk para penggede ini nihil
political-will untuk perubahan atau perbaikan bangsa. Tidak mampu atau tidak
mau memvisikan diri “Bagaimana Indonesia
50 tahun lagi”, atau bahkan untuk 20 tahun lagipun masih kabur.
Belum lagi
intrik beberapa orang penghuni negeri ini yang menghina atau melecehkan dunia
pendidikan. Padahal dia menikmati “apa yang nikmat” di atas permukaan bumi ini
adalah hasil nyata dari dunia pendidikan. Memang tanpa pendidikan seseorang
bisa saja kaya, tapi kaya yang bagaimana ?
Meski kaya, ia akan berjalan seperti orang buta, buta mata-hati terhadap
kelanjutan generasi kehidupan. Konsepnya “babat semua”, yang penting
menguntungkan.
Sungguh
menyedihkan memang, saat kita ingin menunjukkan kemampuan SDM guna menumbuhkan
kepercayaan dunia luar, pada saat yang sama pula pembuat kebijakan dirundung
kelesuan perhatian terhadap kualitas SDM. Plaza plaza mewah atau gedung-gedung pencakar
langit memang perlu dibangun, tetapi yang lebih penting sebenarnya adalah di
mana anak-anak kita akan digembleng untuk bersiap diri menghadapi persaingan
global.
Sangat ironis, jika fasilitas mewah kita sediakan secara luar
biasa untuk memuaskan nafsu nikmat segelintir orang berduit, sementara generasi
penerus kita latih di ruang didik atau laboratorium seperti kandang kambing. Padahal
di sanalah kita menyiapkan SDM yang akan mengolah seluruh sumber daya ekonomi
demi kejayaan bangsa di masa depan.
Koridor
pendidikan yang kita bangun tampaknya belum mampu menjawab arti universal dari
pendidikan itu sendiri. Pada dasarnya, pendidikan harus ditempatkan pada porsi
yang berharga (apresiatif) layaknya menempatkan berlian di atas rak “etalase
kebaikan hidup”, bukan membuangnya ke dalam kotoran.
Kita menemukan
kenyataan di mana penentu kebijakan dan juga masyarakat masih bersikap ambigu
atau mendua-hati menyikapi kurang siapnya kita menempatkan penyelenggaraan
pendidikan di tangga utama kebanggaan bangsa. Pola pikir pejabat dan masyarakat
cenderung ingin merubah pendidikan, bukan bagaimana seharusnya yaitu meyakini
bahwa pendidikanlah yang akan merubah sikap, opini dan income terunggul dari
manusia.
Kapan kita
berupaya menghapus ironikal atas dunia pendidikan dengan menghilangkan arogansi
kita terhadap nilai vital pendidikan ini, hanya kita yang dapat memastikannya.
Kondisi sekarang sudah nyata, kita sudah semakin buta dan tidak punya daya
pengindera jauh ke depan, bahkan mulai mematikan kemampuan itu. Sehingga kita
masih gagal memaknai koridor pendidikan pada tempatnya yang benar. (Penulis
adalah pengamat pendidikan dan pengajar STIE &STIPER YULB Kampus II Siranggong Labura).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar