Senin, 04 Juni 2012

HTR dan HKM Tanpa Ijin Bakal Picu Konflik

Aekkanopan, (Berita Rakyat)
Program Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan Hutan Kemasyarakatan (HKM) di kabupaten Labuhanbatu Utara, ternyata belum mendapatkan ijin dari Bupati, Kharuddinsyah Sitorus, SE, dan baru sampai pada tahap pengajuan usulan areal yang akan dikelola kepada Menteri Kehutanan di Jakarta.

Hal ini diungkapkan oleh Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Ir. Petrus Tongli, kepada Berita Rakyat, di ruang kerjanya, senin (28/5). Dalam kesempatan itu, Tongli menjelaskan, program HTR yang ada di kabupaten ini, baru sampai pada tahap menunggu rekomendasi dari Kementerian Kehutanan Republik Indonesia.


“Belum, hingga saat ini, Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu Utara, secara resmi belum pernah menerbitkan ijin pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat masih dalam proses menunggu rekomendasi menteri,” jelas Petrus Tongli.

Selain itu, ia juga mengaku tidak mengetahui jika ada pihak-pihak yang mengaku bahwa seluruh perijinan HTR dan HKM didaerah ini sudah selesai dan telah dikeluarkan oleh bupati. Tongli mengatakan, proses pengurusan program HTR itu sebenarnya tidak sesederhana seperti yang ada dalam benak masyarakat. Bupati baru dapat mengeluarkan ijin pengelolaan HTR dan HKM  setelah mendapatkan rekomendasi dari Kementerian Kehutanan.

Memang, kata Tongli, beberapa waktu lalu, ada pihak yang mengaku pengurus LSM Solusi Rimba Nusantara datang menemui saya. Saat itu mereka menyatakan siap untuk membantu mengurus segala sesuatu yang dapat mempercepat terbitnya perijinan HTR di Labura. Namanya orang mau membantu, ya silahkan saja, namun belakangan mereka tidak pernah lagi datang menemui saya. Dan yang pasti, antara Dinas Kehutanan dengan LSM Solusi Rimba Nusantara tidak hubungan kerjasama apa pun. Tidak ada MoU antara kami, paparnya.

Ditanya tentang tersiarnya kabar yang mengatakan bahwa areal PT. Sawita Leidong Jaya (sebuah perusahan perkebunan di Desa Air Hitam), termasuk dalam pengajuan areal HTR oleh Pemkab Labura, Tongli menyatakan, areal PT. Sawita Leidong Jaya (SLJ) tidak termasuk dalam pengajuan usulan.

Disinggung tidakan yang akan dilakukan oleh pihaknya terhadap pengelolaan hutan tanpa ijin itu, ia menjelaskan, pihaknya belum mengambil tindakan karena belum terjadi kerusakan hutan. Ia mengatakan, pihaknya akan segera mengambil tindakan tegas, jika para pengklaim pengelola HTR dn HKM itu telah melakukan pengrusakan hutan.

Namun, meski  perijinan HTR ini belum diterbitkan Pemkab Labura, selain LSM Solusi Rimba Nusantara, telah banyak pihak yang mengklaim memiliki akses untuk mengelola HTR tersebut. Dikhawatirkan, dengan terjadinya pengelolaan oleh pihak-pihak yang mengklaim berhak untuk mengelola hutan, tidak tertutup kemungkinan akan dapat memicu dan menyulut terjadinya konflik horizontal di kalangan masyarakat. Pasalnya, masyarakat yang sebelumnya telah sejak lama mengusahai areal hutan, dipastikan tidak akan berdiam diri, jika areal yang telah diusahainya, secara sepihak diduduki dan dikuasai oleh pihak pihak yang mengaku pengelola HTR dan HKM, yang umumnya bukan merupakan bagian dari masyarakat sekitar kawasan hutan.

Seperti yang terjadi di Desa Air Hitam Kecamatan Kualuh Leidong, tidak tanggung-tanggung, pengurus LSM Solusi Rimba Nusantara, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang berkantor di Jakarta, rela untuk berlumpur-lumpur ria di areal yang mereka sebut-sebut telah ditetapkan menjadi lahan HTR. Bahkan, beberapa waktu lalu, mereka sudah sempat memasang berbagai atribut berupa spanduk dan baliho diberbagai titik lokasi dalam areal yang merupakan lahan perkebunan milik PT. Sawita Leidong Jaya (SLJ).

Tidak sampai disana, sesuai keterangan yang diperoleh Berita Rakyat dari masyarakat tempatan, tak jarang, para pengurus LSM Solusi Rimba Nusantara ini juga berusaha untuk mendapatkan keyakinan dari masyarakat dengan berbagai janji-janji yang diyakini mampu membuat sebagian besar penduduk Desa Air Hitam seakan terlena dan terbuai karena akan mendapat jatah lahan HTR seluas 2 Hektar (satu pancang_red).

Awalnya, mungkin dikarenakan penampilan para pengurus LSM ini terlihat cukup mentereng dan meyakinkan, lengkap dengan fasilitas operasional berupa mobil mewah keluaran Ford, warga desa ini pun tidak menaruh curiga, dan tampak sangat percaya dengan kinerja yang mereka tunjukkan.

Setidaknya, menurut catatan Berita Rakyat, pengurus LSM ini tampak selalu menjalankan aktivitasnya dengan ditunjang fasilitas yang terbilang memadai. Tak main-main, untuk operasionalnya saja, LSM Solusi Rimba Nusantara ini menggunakan 2 (dua) unit mobil merk Ford Ranger berwarna sama, dengan nomor polisi masing-masing B 5000 HTR, dan BK 1209 GU.

Beberapa waktu lalu, kedua mobil mewah yang juga dilengkapi dengan atribut dan logo HTR itu, kerapkali terlihat melintas di seputaran kota Aekkanopan, dan sesekali, tidak diketahui pasti keperluannya, mobil itu juga tampak terparkir dihalaman Rumah Sakit Umum Daerah, tepatnya disamping kantor Bupati Labura.

Namun aneh, akhir-akhir ini, walau pun masih sering terlihat melintas di kota Aekkanopan, kedua mobil itu tidak lagi dilengkapi dengan atribut dan logo HTR. Tak diperoleh informasi mengapa kedua mobil tersebut tidak lagi tampil dengan atribut dan kelengkapan HTR nya. Bahkan, mobil dengan Nopol B 5000 HTR yang selama ini mereka gunakan juga tidak pernah terlihat lagi.

Informasi diperoleh Berita Rakyat saat berada di sekitar areal PT. Sawita Leidong Jaya, Desa Air Hitam, ternyata mobil dengan nomor polisi B 5000 HTR yang selama ini kerap digunakan oleh pengurus LSM Solusi Rimba Nusantara ini, hanyalah sebuah akal-akalan mereka untuk mengelabui dan meyakinkan masyarakat. Bahkan dengan gamblangnya, salah seorang warga yang terlibat perbincangan dengan Berita Rakyat, menuding jika nomor polisi B 5000 HTR tersebut adalah nomor polisi yang sengaja dipalsukan. “Saya yakin flat mobil itu palsu, dan mobilnya pun cuma ada satu. Buktinya, mobil itu kan ga pernah terlihat secara bersamaan, “ celetuknya.

Rp. 1 Juta Untuk Mendatangkan SPORC

Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari sumber, saat ini, sebagian besar penduduk Desa Air Hitam yang tercatat menjadi peserta program HTR, telah mengalami pemungutan uang yang dilakukan oleh pengurus LSM Solusi Rimba Nusantara.

Para warga ini, masing-masing dipungut uang senilai Rp. 1.000.000, yang oleh pengurus LSM itu dikatakan sebagai galangan dana untuk membiayai kedatangan Tim Satuan Polhut Reaksi Cepat (SPORC) kelokasi yang akan dijadikan areal HTR. Oleh sumber, diduga untuk meyakinkan warga, pemungutan uang ini sengaja dilakukan dengan menggunakan kwitansi tanda pembayaran.

“Pucuk dicinta ulam pun tiba”, tak lama setelah dilakukannya pemungutan uang itu, secara kebetulan, Tim SPORC Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Utara turun ke Desa Air Hitam. Namun, menurut sumber di Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Labuhanbatu Utara, kedatangan tim SPORC ternyata tidak memiliki kaitan dengan program HTR yang sedang hangat-hangatnya menjadi bahan pembicaraan masyarakat disana. Melainkan akan melakukan cek lapangan dan pengambilan titik koordinat areal perkebunan milik PT. Sawita Leidong Jaya (SLJ).

Namun sangat disayangkan, pihak SPORC yang coba dimintai keterangan oleh Berita Rakyat, dengan dalih bukan merupakan wewenangnya, seorang personil SPORC yang mengaku bernama Agus, menolak untuk memberikan keterangan. “Silahkan langsung konfirmasi ke kantor saja pak, itu bukan wewenang saya,” tukasnya, sembari berlalu meninggalkan wartawan.

Tidak jauh berbeda dengan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) di Desa Air Hitam, program Hutan Kemasyarakatan (HKM) yang berada di Desa Kuala Beringin Kecamatan Kualuh Hulu, juga diyakini bakal menuai permasalahan yang sama.

Informasi diperoleh, sebelum diluncurkannya program HTR dan HKM oleh pemerintah, masyarakat di beberapa dusun desa tersebut, secara umum sudah sejak lama menggarap dan mengusahai lahan di areal kawasan hutan. Bukan hanya sekedar menggarap dan mengusahai, bahkan ditengarai, beberapa hektar dari lahan yang berada di kawasan tersebut, diduga sudah dilegalisasi dengan terbitnya surat keterangan tanah oleh pemerintah setempat.

Sumber di masyarakat Desa Kuala Beringin menyebutkan, saat ini, setidaknya, terdapat sebanyak 12 (dua belas) kelompok tani yang mengaku telah mengantongi ijin pengelolaan program Hutan Kemasyarakatan dari pemerintah.

Menariknya, meski ijin dari Pemkab Labura belum diterbitkan, ke dua belas kelompok tani tersebut terkesan bersaing keras untuk membuktikan bahwa pihak mereka yang lebih diakui untuk mengelola hutan dibandingkan kelompok lainnya. Kesan persaingan ini terungkap dari salah satu pengurus kelompok tani yang mengaku telah merasa dirugikan dengan kehadiran dari kelompok-kelompok tani lain, yang dianggapnya tidak memiliki hak serupa dengan kelompoknya untuk mengelola program HKM.

Pantauan Berita Rakyat, saat ini di areal yang merupakan kawasan hutan lindung tersebut, sudah banyak terdapat tanda-tanda berbentuk papan nama (Plank) yang menyatakan areal itu adalah milik salah satu kelompok.

Tidak hanya itu, para pengurus kelompok tani disana pun terlihat sudah mulai memasang pertanda kavlingan-kavlingan yang nantinya akan diperuntukkan bagi orang-orang yang turut serta sebagai anggota kelompok tani tersebut.

Namun tidak didapat informasi, apakah masyarakat yang menjadi anggota peserta HKM di Desa Kuala Beringin juga mengalami pemungutan sejumlah uang untuk pengurusan layaknya masyarakat Desa Air Hitam. (br.06)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar