Program Hutan Tanaman Rakyat (HTR)
dan Hutan Kemasyarakatan (HKM) di kabupaten Labuhanbatu Utara, ternyata belum
mendapatkan ijin dari Bupati, Kharuddinsyah Sitorus, SE, dan baru sampai pada
tahap pengajuan usulan areal yang akan dikelola kepada Menteri Kehutanan di
Jakarta.
Hal ini diungkapkan oleh Kepala
Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Ir. Petrus Tongli, kepada Berita Rakyat, di ruang
kerjanya, senin (28/5). Dalam kesempatan itu, Tongli menjelaskan, program HTR
yang ada di kabupaten ini, baru sampai pada tahap menunggu rekomendasi dari Kementerian
Kehutanan Republik Indonesia .
“Belum, hingga saat ini,
Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu Utara, secara resmi belum pernah menerbitkan
ijin pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat masih dalam proses menunggu rekomendasi menteri,”
jelas Petrus Tongli.
Selain itu, ia juga mengaku tidak
mengetahui jika ada pihak-pihak yang mengaku bahwa seluruh perijinan HTR dan
HKM didaerah ini sudah selesai dan telah dikeluarkan oleh bupati. Tongli
mengatakan, proses pengurusan program HTR itu sebenarnya tidak sesederhana
seperti yang ada dalam benak masyarakat. Bupati baru dapat mengeluarkan ijin
pengelolaan HTR dan HKM setelah
mendapatkan rekomendasi dari Kementerian Kehutanan.
Memang, kata Tongli, beberapa
waktu lalu, ada pihak yang mengaku pengurus LSM Solusi Rimba Nusantara datang
menemui saya. Saat itu mereka menyatakan siap untuk membantu mengurus segala
sesuatu yang dapat mempercepat terbitnya perijinan HTR di Labura. Namanya orang
mau membantu, ya silahkan saja, namun belakangan mereka tidak pernah lagi
datang menemui saya. Dan yang pasti, antara Dinas Kehutanan dengan LSM Solusi
Rimba Nusantara tidak hubungan kerjasama apa pun. Tidak ada MoU antara kami,
paparnya.
Ditanya tentang tersiarnya kabar
yang mengatakan bahwa areal PT. Sawita Leidong Jaya (sebuah perusahan
perkebunan di Desa Air Hitam), termasuk dalam pengajuan areal HTR oleh Pemkab
Labura, Tongli menyatakan, areal PT. Sawita Leidong Jaya (SLJ) tidak termasuk
dalam pengajuan usulan.
Disinggung tidakan yang akan
dilakukan oleh pihaknya terhadap pengelolaan hutan tanpa ijin itu, ia
menjelaskan, pihaknya belum mengambil tindakan karena belum terjadi kerusakan
hutan. Ia mengatakan, pihaknya akan segera mengambil tindakan tegas, jika para
pengklaim pengelola HTR dn HKM itu telah melakukan pengrusakan hutan.
Namun, meski perijinan HTR ini belum diterbitkan Pemkab
Labura, selain LSM Solusi Rimba Nusantara, telah banyak pihak yang mengklaim
memiliki akses untuk mengelola HTR tersebut. Dikhawatirkan, dengan terjadinya
pengelolaan oleh pihak-pihak yang mengklaim berhak untuk mengelola hutan, tidak
tertutup kemungkinan akan dapat memicu dan menyulut terjadinya konflik
horizontal di kalangan masyarakat. Pasalnya, masyarakat yang sebelumnya telah
sejak lama mengusahai areal hutan, dipastikan tidak akan berdiam diri, jika
areal yang telah diusahainya, secara sepihak diduduki dan dikuasai oleh pihak pihak
yang mengaku pengelola HTR dan HKM, yang umumnya bukan merupakan bagian dari
masyarakat sekitar kawasan hutan.
Seperti yang terjadi di Desa Air
Hitam Kecamatan Kualuh Leidong, tidak tanggung-tanggung, pengurus LSM Solusi
Rimba Nusantara, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang berkantor di Jakarta,
rela untuk berlumpur-lumpur ria di areal yang mereka sebut-sebut telah
ditetapkan menjadi lahan HTR. Bahkan, beberapa waktu lalu, mereka sudah sempat
memasang berbagai atribut berupa spanduk dan baliho diberbagai titik lokasi
dalam areal yang merupakan lahan perkebunan milik PT. Sawita Leidong Jaya
(SLJ).
Tidak sampai disana, sesuai
keterangan yang diperoleh Berita Rakyat dari masyarakat
tempatan, tak jarang, para pengurus LSM Solusi Rimba Nusantara ini juga
berusaha untuk mendapatkan keyakinan dari masyarakat dengan berbagai janji-janji
yang diyakini mampu membuat sebagian besar penduduk Desa Air Hitam seakan
terlena dan terbuai karena akan mendapat jatah lahan HTR seluas 2 Hektar (satu
pancang_red).
Awalnya, mungkin dikarenakan
penampilan para pengurus LSM ini terlihat cukup mentereng dan meyakinkan,
lengkap dengan fasilitas operasional berupa mobil mewah keluaran Ford, warga
desa ini pun tidak menaruh curiga, dan tampak sangat percaya dengan kinerja
yang mereka tunjukkan.
Setidaknya, menurut catatan Berita
Rakyat, pengurus LSM ini tampak selalu menjalankan aktivitasnya dengan
ditunjang fasilitas yang terbilang memadai. Tak main-main, untuk operasionalnya
saja, LSM Solusi Rimba Nusantara ini menggunakan 2 (dua) unit mobil merk Ford
Ranger berwarna sama, dengan nomor polisi masing-masing B 5000 HTR, dan BK 1209
GU.
Beberapa waktu lalu, kedua mobil
mewah yang juga dilengkapi dengan atribut dan logo HTR itu, kerapkali terlihat
melintas di seputaran kota Aekkanopan, dan sesekali, tidak diketahui pasti
keperluannya, mobil itu juga tampak terparkir dihalaman Rumah Sakit Umum
Daerah, tepatnya disamping kantor Bupati Labura.
Namun aneh, akhir-akhir ini,
walau pun masih sering terlihat melintas di kota Aekkanopan, kedua mobil itu
tidak lagi dilengkapi dengan atribut dan logo HTR. Tak diperoleh informasi
mengapa kedua mobil tersebut tidak lagi tampil dengan atribut dan kelengkapan
HTR nya. Bahkan, mobil dengan Nopol B 5000 HTR yang selama ini mereka gunakan
juga tidak pernah terlihat lagi.
Informasi diperoleh Berita
Rakyat saat berada di sekitar areal PT. Sawita Leidong Jaya, Desa Air
Hitam, ternyata mobil dengan nomor polisi B 5000 HTR yang selama ini kerap
digunakan oleh pengurus LSM Solusi Rimba Nusantara ini, hanyalah sebuah
akal-akalan mereka untuk mengelabui dan meyakinkan masyarakat. Bahkan dengan
gamblangnya, salah seorang warga yang terlibat perbincangan dengan Berita
Rakyat, menuding jika nomor polisi B 5000 HTR tersebut adalah nomor polisi yang
sengaja dipalsukan. “Saya yakin flat mobil itu palsu, dan mobilnya pun cuma ada
satu. Buktinya, mobil itu kan
ga pernah terlihat secara bersamaan, “ celetuknya.
Rp. 1 Juta Untuk Mendatangkan SPORC
Berdasarkan keterangan yang
diperoleh dari sumber, saat ini, sebagian besar penduduk Desa Air Hitam yang
tercatat menjadi peserta program HTR, telah mengalami pemungutan uang yang
dilakukan oleh pengurus LSM Solusi Rimba Nusantara.
Para warga ini, masing-masing
dipungut uang senilai Rp. 1.000.000, yang oleh pengurus LSM itu dikatakan
sebagai galangan dana untuk membiayai kedatangan Tim Satuan Polhut Reaksi Cepat
(SPORC) kelokasi yang akan dijadikan areal HTR. Oleh sumber, diduga untuk
meyakinkan warga, pemungutan uang ini sengaja dilakukan dengan menggunakan
kwitansi tanda pembayaran.
“Pucuk dicinta ulam pun tiba”,
tak lama setelah dilakukannya pemungutan uang itu, secara kebetulan, Tim SPORC
Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Utara turun ke Desa Air Hitam. Namun, menurut
sumber di Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Labuhanbatu Utara,
kedatangan tim SPORC ternyata tidak memiliki kaitan dengan program HTR yang
sedang hangat-hangatnya menjadi bahan pembicaraan masyarakat disana. Melainkan
akan melakukan cek lapangan dan pengambilan titik koordinat areal perkebunan
milik PT. Sawita Leidong Jaya (SLJ).
Namun sangat disayangkan, pihak
SPORC yang coba dimintai keterangan oleh Berita Rakyat, dengan dalih bukan
merupakan wewenangnya, seorang personil SPORC yang mengaku bernama Agus,
menolak untuk memberikan keterangan. “Silahkan langsung konfirmasi ke kantor
saja pak, itu bukan wewenang saya,” tukasnya, sembari berlalu meninggalkan
wartawan.
Tidak jauh berbeda dengan Hutan
Tanaman Rakyat (HTR) di Desa Air Hitam, program Hutan Kemasyarakatan (HKM) yang
berada di Desa Kuala Beringin Kecamatan Kualuh Hulu, juga diyakini bakal menuai
permasalahan yang sama.
Informasi diperoleh, sebelum
diluncurkannya program HTR dan HKM oleh pemerintah, masyarakat di beberapa
dusun desa tersebut, secara umum sudah sejak lama menggarap dan mengusahai
lahan di areal kawasan hutan. Bukan hanya sekedar menggarap dan mengusahai,
bahkan ditengarai, beberapa hektar dari lahan yang berada di kawasan tersebut,
diduga sudah dilegalisasi dengan terbitnya surat keterangan tanah oleh
pemerintah setempat.
Sumber di masyarakat Desa Kuala
Beringin menyebutkan, saat ini, setidaknya, terdapat sebanyak 12 (dua belas)
kelompok tani yang mengaku telah mengantongi ijin pengelolaan program Hutan
Kemasyarakatan dari pemerintah.
Menariknya, meski ijin dari
Pemkab Labura belum diterbitkan, ke dua belas kelompok tani tersebut terkesan
bersaing keras untuk membuktikan bahwa pihak mereka yang lebih diakui untuk
mengelola hutan dibandingkan kelompok lainnya. Kesan persaingan ini terungkap
dari salah satu pengurus kelompok tani yang mengaku telah merasa dirugikan
dengan kehadiran dari kelompok-kelompok tani lain, yang dianggapnya tidak
memiliki hak serupa dengan kelompoknya untuk mengelola program HKM.
Pantauan Berita Rakyat, saat ini
di areal yang merupakan kawasan hutan lindung tersebut, sudah banyak terdapat
tanda-tanda berbentuk papan nama (Plank) yang menyatakan areal itu adalah milik
salah satu kelompok.
Tidak hanya itu, para pengurus
kelompok tani disana pun terlihat sudah mulai memasang pertanda
kavlingan-kavlingan yang nantinya akan diperuntukkan bagi orang-orang yang
turut serta sebagai anggota kelompok tani tersebut.
Namun tidak didapat informasi,
apakah masyarakat yang menjadi anggota peserta HKM di Desa Kuala Beringin juga
mengalami pemungutan sejumlah uang untuk pengurusan layaknya masyarakat Desa
Air Hitam. (br.06)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar