Aekkanopan, (Berita Rakyat)
Program nasional dalam meringankan beban
masyarakat miskin berupa bantuan beras untuk rumah tangga miskin atau yang
akrab disebut raskin ini, tampaknya tak begitu indah dirasakan oleh masyarakat
kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura) terkhususnya di Kecamatan Kualuhhulu dan
Kualuh Selatan, malah semakin mencekik (membebani-red) masyarakat yang
jelas-jelas tidak mampu.
Pasalnya, harga yang telah ditetapkan pemerintah
pusat sebesar Rp 1.600,-/Kg, namun di Kecamatan Kualuhhulu dan Kualuh Selatan
diluar dari perkiraan. Harga raskin untuk dua Kecamatan tersebut bervariasi. Di
Kecamatan Kualuhhulu, harga raskin mencapai 2.500,-/Kg dan di Kecamatan Kualuh
Selatan mencapai Rp 2.000,-/Kg...........
“Jelas kami merasa berat, sementara untuk bisa dapat beras saja harus bayar lebih dulu. Sudahlah harganya lumayan tinggi. Untuk beras
Bulog 7 Kg kami harus wajib bayar
sebesar Rp 18.000,-. Lebih sakitnya lagi, kalau gak punya uang, kami tidak bisa
ambil beras, terus, kalau terlambat ngambil berasnya, kami ya gak kebagian,”
keluh sejumlah masyarakat penerima raskin.
Menyikapi permasalahan ini, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Labura terkesan “tutup mata”
terhadap tingginya harga raskin tersebut. Hal ini terlihat dari seringnya
masalah ini diterbitkan dalam media cetak, namun pemerintah dinilai tidak mampu
mengambil kebijakan terhadap permasalahan tersebut.
Perangkat kerja permerintah kerap kali melontarkan janji dalam menyelesaikan masalah. Misalnya
saja, Camat Kualuhhulu, Adi Winarto melalui Ketua Tim Penyalur raskin
Kecamatan, Timbul Halomoan Hasibuan, SH berjanji, untuk periode November tahun
2011, harga raskin akan disesuaikan dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) yaitu
Rp 1.600,-/Kg. Namun kenyataannya, hingga periode Februari tahun 2012, harga
raskin di Kecamatan Kualuhhulu masih mencapai Rp 2.500,-/Kg.
Camat, Lurah dan Kepling Dapat “Jatah”
Niat baik pemerintah pusat guna membantu
meringankan beban rakyat berpenghasilan di bawah standar rata-rata
melalui program raskin, di Aekkanopan, Kecamatan Kualuhulu, digrogoti oleh
pejabat pemerintah setingkat Camat, Lurah, dan Kepala Lingkungan (Kepling).
Setiap bulan pendistribusian raskin, Camat mendapat “jatah” Rp 100/Kg, Lurah Rp
200/Kg, sedangkan Kepling memperoleh Rp 600/Kg.
Dugaan praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) tersebut terungkap dari
pengakuan Kepala Bagian (Kabag) Perekonomian Pemerintah Kabupaten (pemkab)
Labura, H. Syahrul Harahap, S Sos kepada sejumlah wartawan usai melakukan
monitoring diseputaran kota Aekkanopan, Selasa (18/10) pekan lalu.
Menurut Syahrul, tentang dugaan adanya “permainan” pendistribusian raskin ke
Kelurahan/ Desa-Desa yang ada di dua Kecamatan, Kualuhhulu dan Kualuh Selatan,
dia bersama staf langsung melakukan monitoring lapangan. Ternyata benar,
informasi yang menyangkut “kutak katik” harga, jauh diatas Harga Eceran
Tertinggi (HET).
“Hasil monitoring kami di lapangan, untuk kota Aekkanopan dan sekitarnya raskin
dijual kepada masyarakat dengan harga Rp 2.500/Kg. Padahal sesuai ketetapan HET
tidak boleh dijual lebih dari RP 1.600/Kg. Ini jelas penyimpangan dan akan saya
sampaikan kepada atasan,” aku Syahrul dihadapan sejumlah pekerja pers yang
bertugas di Labura seraya berjanji akan menyurati semua perangkat kerja disemua
Kecamatan.
Menjawab pertanyaan, dikemanakan selisih harga mencapai Rp 900/Kg oleh petugas
pendistribusi raskin di wilayah kerjanya, Syahrul dengan gamblang menyatakan,
hasil monitor, selisih harga tersebut dibagi-bagi oleh petugas. Rinciannya,
untuk Camat Rp 100/Kg, Lurah Rp 200/Kg , selebihnya (Rp 600) merupakan “jatah”
Kepling.
“Ini sudah keterlaluan, hasil
temuan kami sisa harga raskin mencapai Rp 900/Kg dibagi-bagi untuk Camat, Lurah
dan Kepling,” tandas Syahrul serius.
Diperjualbelikan
Investigasi wartawan Berita Rakyat, untuk mendapatkan
raskin di kota
Aekkanopan dan sekitarnya tidaklah terlalu sulit. Dibeberapa kios penjual
beras, raskin sudah disediakan dalam berbagai bentuk kemasan dengan harga
bervariasi. Raskin yang masih utuh dengan kemasan asli berlabel Bulog dihargai
Rp 6.000/Kg, sedangkan raskin “tukar karung” (merek Bulog sudah
dihilangkan-red) bisa dijual Rp 6.500 s/d Rp 7.000/Kg.
Salah seorang pedagang beras merangkap penadah raskin mengakui, setiap bulan
penyerahan beras untuk orang miskin, dia selalu ketiban rezeki dari oknum-oknum
tertentu yang menjual puluhan karung dengan harga Rp 6.000 s/d Rp 7.000/kg.
untuk mengelabui konsumen/pembeli, katanya, karung asli langsung ditukar
sehingga tidak ada lagi merek Bulog disana.
Disamping harganya bisa jauh lebih mahal dijual kepada konsumen,
keamanannya pun lebih terjamin. Sebab, kalau karung bermerek Bulog dipajang di
kios, petugas pasti tidak tinggal diam. “Kalau Nampak polisi pasti ditangkap,
makanya karung aslinya saya ganti. Saya tahu itu raskin, mereka jual saya beli.
Lagipula, untungnya lumayan, kan ?
Namanya pun cari makan,” beber pedagang beras yang sengaja namanya
dirahasiakan.
Sewaktu
hal bebas beredarnya jual beli raskin dipasaran dipertanyakan kepada Camat
Kualuhhulu, Drs. Adi Winarto, dia langsung mengelak dan menyerahkan persoalan
kepada tim penyalur, Timbul Halomoan Hasibuan, SH. Timbul membenarkan kejadian.
Hal tersebut bisa terjadi, sebut Timbul, masyarakat penerima raskinlah yang
memperjualbelikannya ke kios-kios penjualan beras.
“Itu
bukan kesalahan kami. Sebenarnya masyarakatlah yang menjual langsung ke grosir.
Jadi, kami tidak bisa menindak atas temuan Kabag Perekonomian. Itu hak mereka,
masyarakat bebas melakukan apa saja terhadap hak mereka. Kalau masalah harga
raskin untuk periode November, kami akan surati Lurah dan Kades supaya raskin
dijual sesuai HET,” elak Timbul berargumen.
Saat sejumlah masyarakat penerima raskin
tersebut dimintai tanggapan atas keterangan Ketua Tim Penyalur Raskin
Kecamatan, Timbul Halomoan Hasibuan, SH, membantah kalau mereka menjual kembali
beras raskin itu ke kios-kios. Malah, mereka berang saat mendengar keterangan
Timbul.
“Tidak mungkin kami menjual lagi beras
raskin yang sudah diberikan kepada kami. Dapat saja kami sudah bersyukur. Itu
hanya akal-akalan dia saja. Kog malah kami yang dikambing hitamkan pemerintah,”
lanjut mereka merasa berang.
Kedengaran aneh memang, perangkat kerja
pemerintahan malah menyalahkan masyarakat atas tindakan yang dinilai karena
kecerobohan mereka sendiri. Pemerintah terkesan “tutup mata” dalam mengambil
kebijakan untuk menjalankan program nasional ini.
Sayangnya, saat Camat Kualuhhulu, Adi
Winarto dan Camat Kualuh Selatan, M. Yakub, SH dikonfirmasi lewat telepon
seluler via pesan singkat (SMS), sama sekali tidak memberikan jawaban apapun. (br.07)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar