Jumat, 22 Juni 2012

Liku-Liku Sungai Kualuh


                                        Oleh : Syamsir Effendi “Buyung Leo” Lubis
           
“Berliku-liku Sungai Kualuh, bunga kenanga harum setanjung. Hati yang gelap tolong disuluh karena bidukku patah pendayung. Bunga kenanga harum setanjung ditiup angin dari hulu, Karena bidukku patah pendayung tak tentu arah hendak dituju”.

Penggalan syair lagu diatas, ciptaan almarhum Dahlan  Nun yang berjiwa seni,  dinyanyikan dan dipopulerkan sendiri oleh beliau.
      
Syair lagu itu ditulis beliau ketika melintas pulang dan pergi,dari dan ke Kampung Mesjid, naik sampan melalui jalur sungai. Inspirasi menulis syair lagu itu datang dari harum semerbaknya bunga  kenanga dan bunga tanjung yang ketika itu banyak tumbuh disepanjang sungai Kualuh. Bila malam hari akan terlihat indah dengan cahaya yang dipancarkan kelap-kelip/kunang-kunang kuning yang berterbangan di pepohonan Barombang.
           
Kemudian tembang kenangan berirama melayu itu pun kerap dinyanyikan di era tahun 60 an setiap tampil bersama Orkes Melayu Gunung Sayang, atau Orkes Melayu Lambaian Masa, yang ngetop saat itu di Aekkanopan, sekitarnya. Perlu juga diketahui bahwa Orkes Gunung Sayang ketika tahun 70 an pernah tampil di RRI Nusantara III Medan, bahkan sempat tour musik melayu ke Negara tetangga Malaysia.
           
Kemasyhuran Sungai Kualuh, adalah salah satu bukti peninggalan berbagai sejarah panjang kehidupan rakyat dimasa lalu, sebab dahulu sungai merupakan pusat  budaya kehidupan manusia untuk bertahan hidup, sejalan dengan sungai sebagai jalan tol bebas hambatannya manusia kala itu. Sungai Kualuh mengalir dari Parsoburan di Tapanuli Utara sampai ke Kualuh Leidong.
           
Diperkirakan Sungai Kualuh ini dahulu kala, menjadi salah satu jalur lalu lintas migrasi rakyat Batak dari Parsoburan, Porsea, Balige, Tapanuli Utara, umumnya ke kawasan pantai timur. Disamping itu, melalui darat migrasi terjadi melalui Tangga Damuli, mengarah ke kawasan Kecamatan Aek Natas dan Na IX-X. Maka sampai sekarang banyak masyarakat yang ada di Labura dari etnis Batak Toba, mereka yang migrasi itu kebanyakan memeluk agama Islam, karena berada di Tanah Melayu Kualuh.
           
Memang, pada masa zaman itu telah ada jalan darat disisi Sungai Kualuh yang dirintis penjajah Belanda, mulai dari Tanjung Mangedar ke Singgasana, kemudian menyeberang ke Paranginan sampai ke Tanjung Pasir.
           
Tetapi jalan darat ini tidak optimal digunakan oleh rakyat, karena alat transportasi darat sangat minim. Jalan darat ini utamanya digunakan sebagai lalu lintas mengangkut berbagai hasil bumi yang terkenal seperti nipah tanaman Sultan yakni pinang, nibung, kelapa kopra dan karet disebelah hulu, yang kemudian disalurkan melalui Sungai Kualuh untuk di angkut ke luar negeri.
Pada masa keemasannya dulu rakyat tidak sulit untuk mencari nafkah dari hasil tangkapan ikan di Sungai Kualuh. Disepanjang sungai itu terkenal banyak terdapat lubuk berbagai jenis ikan sungai yang lezat cita rasanya.
           
Di sekitar Kampung Mesjid/Pantai Belanak misalnya, terdapat banyak ikan belanak dan ikan jumpul, di Kuala Bangka ikan tali, ikan cencang rebung dan ikan malim. Kemudian di Mencari Lawan ada ikan baung, ikan tapa, dan ikan arwana/ikan mambang. Lalu di Sunge Udang, terdapat banyak udang galah, di sekitar Gunting Saga hingga ke Tanjung Pasir tempatnya ikan merah, ikan lemeduk dan ikan kalu.
           
Namun itu semua kini tinggal kenangan, hingga tahun 80 ‘an masa keemasan ikan Sungai Kualuh tidak terdengar lagi. Akibat banjir yang tidak menentu datangnya karena  perambahan hutan di hulu, juga akibat penangkapan ikan yang sembrono dengan memakai bahan-bahan kimia. Kini tangkapan ikan untuk lauk makan saja sulit didapat, apalagi tangkapan ikan untuk dijual dipastikan sudah tidak mungkin lagi sebagai mata pencaharian penduduk di sepanjang Sungai Kualuh.
           
Sembari mengenang kehidupan yang ada di sepanjang Kungai Kualuh, terlebih dahulu kita baiknya mengetahui asal muasal penamaan sungai itu. Penamaan Sungai Kualuh, paling tidak memiliki tiga versi.
             
Pertama pendapat mengatakan, bahwa Sungai Kualuh ini berdasarkan letak geografisnya, dari sebelah hulu di Tapanuli Utara, namanya adalah Aek Kualuh. Sementara mulai dari kampung Aek Baringin sampai ke hilir di muara selat malaka dinamai Sungai (Sunge) Kualuh, ada perobahan  penamaan, mungkin penyesuaian karena dihilir penduduknya orang melayu. Namun tetap berlandaskan nama Kualuh, hanya ada perubahan antara kata Aek di hulu, dan kata Sungai (Sunge) di hilir.
           
Kedua, versi ini diceritakan kepada penulis, pada saat hari raya idul fitri tahun 1395 H, oleh dua orang Atok kelahiran sekitar tahun 1901. Atok pertama, mengatakan,  bahwa nama sungai itu diberikan berdasarkan risalah kesultanan. Bahwa dibawah pengawasan dan tunduk kepada Kesultanan Kualuh ada delapan raja-raja kecil atau disebut juga Raja Adat  Hualu yang berkampung disisi Sungai Kualuh.
           
Berdasarkan adanya delapan Raja adat inilah sungai tersebut dinamakan Sungai Kualuh. Dalam bahasa ulu atau batak (dale) Hualu bermakna = walu/delapan. Maka dalam versi ini, untuk menyesuaikan dengan adat melayu, maka  disebutlah menjadi Sungai Kualuh sekarang.
           
Ketiga, oleh  Atok yang kedua, mengisahkan bahwa asal-muasal nama Sungai Kualuh itu berdasarkan ada tujuh sungai mengalir yang bermuara ke Sungai Kualuh. Tujuh sungai itu berada di wilayah Labura.
           
Adapun ketujuh sungai tersebut yang bermuara ke Sungai Kualuh adalah, 1.Sungai Air Hitam, (Sunge Ledong), 2. Sungai Aek Kuo, 3. Sungai Aek Kanopan, 4. Sungai Aek Natas, 5. Sungai Simangalam. 6. Sungai Aek Rimo, dan 7. Sungai Aek Tombus. Untuk Aek Rimo dan Aek Tombus menyatu di Kuala Beringin, kemudian bermuara ke Sungai Kualuh. Gabungan tujuh sungai yang bermuara ke induknya, yaitu Sungai  Kualuh, maka ada delapan sungai yang terdapat di Kesultanan Kualuh.
           
Terkait dengan bahasa Batak atau Orang Ulu  yang berada di hulu Sungai Kualuh, untuk angka delapan dilafazkan sebagai walu, karena adanya pengaruh budaya dan bahasa melayu yang kuat di hilir, maka sungai itu dinamai menjadi Sungai (Sunge) Kualuh.
           
Kampung Mesjid dulunya sebagai pusat pemerintahan pertama, yang berada di tepian Sungai Kualuh menjadi penting dengan pelabuhannya Tanjung Mangedar yang ramai. Dari sinilah tumbuhnya dinamika budaya kehidupan yang melakukan kegiatan berbagai kegiatan mata pencaharian dan transaksi ekonomi keluar negeri, Semenanjung Malaka, misalnya.
           
Karena itulah di sepanjang Sungai Kualuh tumbuh perkampungan dan perladangan yang kemudian menjadi perkampungan baru. Mulai dari hilir  terdapat kampung-kampung. Tanjung Leidong, dulunya kampung ini di buka berada ditanah berbentuk semananjung, makanya disebut Tanjung. Dan ada kaitannya dengan sungai Aek Leidong  Asahan, dan terdapat perkebunan karet diberi nama Leidongwest, sungai tadi mengalir ke rawa-rawa Air Hitam, kemudian di hilirnya melintas ke kampung Kelapo Sebatang, yang kemudian bermuara di Tanjung Leidong, karena hulu sungai itu Leidong.
           
Bahwa dulunya Tanjung Leidong itu, bangunannya terbuat dari nibung, mulai dari tiang, lantai, dan jalan-jalan titi penghubung antar rumah dan lingkungan yang berada  diatas air pasang. Nibung banyak terdapat disana, dan nibung ini terkenal kuat dan tahan air, jadi cocok untuk dipakai sebagai bahan bangunan di Tajung Ledong.
           
Kemudian ada kampung Kalapo Sabatang, Toluk Pule Luar dan Tolup Pule Dalam, Tanjung Mangedar, Sunge Robut, Toluk Pie, Sialang Gatab, Kampung Mesjid sebelumnya  nama kampung ini adalah Jatuhan Batu, Sunge Sontang, Aek Kuo sekarang Kuala Bangka, Pulo Nipah, Sunge Piandang,  Singgasana, Mancari Lawan, Paranginan, dan kampung Parsombahan.
           
Di kampung Parsombahan, terdapat kuburan keramat “Si Halembe”, panjang kuburan itu lebih kurang 9 meter, terdengar kabar memang Si Halembe itu tingginya 9 meter. Dahulu kuburan tersebut selalu dijiarahi masyarakat untuk keperluan membayar nazar, dengan melepas ayam, kambing, atau apa saja yang bisa ditinggalkan. Dahulu kuburan tersebut pakai atap, dirawat orang-orang asli Kualuh yang berladang disekitarnya yang tahu sejarah kuburan tersebut. Tapi sekarang, kuburan tersebut telah hampir hilang, disekelilingnya telah ditanami pohon sawit orang-orang pendatang, dan banyak babi peliharaan masyarakat berkeliaran di kuburan Si Halembe itu., Sungguh memprihatinkan.
           
Pada pinggiran hulu Sungai Kualuh, terdapat perkampungan, yaitu Hanna, Tanjung Pasir masa itu merupakan kampung paling ramai dan menjadi tempat Istana Kesultanan Kualuh, Pondok Joruk Silandorung, Bandar Lama, Parpaudangan, Pulo Dogom, Bandar Manis, Bangun, dan Parhondalian.
           
Kemudian, tumbuh perkampungan baru sejalan dengan dibukanya perkebunan Belanda dan Inggris , seperti Kebun Labuhan Haji, Membang Muda, Damuli, Situngir, dan Aekkanopan yang sebelumnya bernama Kampung Galugur, Parmanukan, Parnangkaan, Gunting Saga, Damuli, Situngir, dan Londut.
           
Seterusnya setelah merdeka, banyak orang Kualuh Hilir yang migrasi/pindah ke berbagai kampung lainnya, seperti ada yang pindah ke Tanjung Balai, Tanjung Pasir, Gunting Saga, Aekkanopan, Dari Aek Kuo atau Kuala Bangka, dan ada yang pindah ke Aekkanopan, Aekkorsik, Pulo Bargot, Bulungihit Marbo, dan ada Kampung Kualuh terletak di Padang Halaban yang dibuka oleh orang Kualuh.
           
Liku-liku  Sungai Kualuh, memberi ilham cerita kepada alm. Wak Panji yang dikenal sebagai penutur Cerita Rakyat Kualuh. Bahwa kegiatan ekonomi dari Kampung Mesjid ke Malaya yang ditakuti di Selat Malaka adalah Bajak Laut, kerap menjadi ancaman bagi pedagang yang melintas, tidak pilih bulu, jarang pedagang yang selamat dari aksi Bajak Laut itu. Kalaupun ada yang selamat, adalah kapal yang memiliki tekong/nakhoda dan awak kapal yang memiliki tubuh kebal dan terampil berkelahi, dan semangat siap tempur.
           
Pada masa itu ada seorang tekong baru yang mendapat pekerjaan membawa hasil bumi untuk di dijual ke Malaya, beliau sadar bahwa tugas itu sangat beresiko, tinggi, sedangkan dia bukanlah sakti mandraguna. Setelah kapal diisi muatan, sebelum berangkat dia memasang akal-akalan, dia meminta kepada ABK untuk menyiapkan bekal “parnapuran”, juga meminta paku lima inci.
           
Beliau mengambil buah pinang bulat yang tua dan kering, kemudian pinang itu dengan pelan-pelan dipukul-pukul sampai hancur biji dalamnya, sedang kulit luarnya masih kelihatan utuh. Kemudian mengambil paku lima inci, dan  menggergaji paku itu samapai hampir putus. Setelah itu diperintahkanlah ABK untuk mengangkat jangkar dan berlayar ke Malaya, mereka berangkat.
           
Tiba ditengah laut tempat sering terjadi pembajakan pedagang , sang tekong memerintahkan ABK untuk membuang jangkar, “Kito istiraghat disini, buang jangkagh, batanak kamu, biargh makan kito” perintahnya. Para ABK, bingung, karena daerah itu rawan pembajakan, tapi karena perintah tekong, jangkar pun dibuang, mereka berlabuh ditengah laut.
           
Betul, sedang mereka makan siang di tengah laut itu, bermunculanlah bajak laut yang terkenal kejam. Sang Tekong berkata “Ba…, datang kamu incek, naik la, apopun caghitonyo, kolo pun kamu ondak marampok, mambunuh kami,  makan la kito dulu”, katanya kepada para bajak laut itu, yang memang sedang lapar. Sebelum gerombolan bajak laut itu selesai makan, sang Tekong meminta salah seorang ABK untuk mengambil sumpit tempat bekal Parnapuran tadi.          
           
Begitu sirih akan diolesi kapur sirih yang biasanya lembab dan  lembut,  ini kering dan keras, “Ba…yang koghasla kapur ni, ambilkan paku di sumpit tu” katanya kepada ABK. Dari sumpit itu diambilnya paku lima inci tadi, “Tak ado yang kocil paku ni ?, bosagh dan panjang kali ini” katanya, tapi si Tekong menggigit paku itu, dan taaak… paku itu patah ”Ha… ini baghu pas…”, katanya dengan keras sedikit parau, kemudian mengkorek kapur sirih itu dan mengoleskan ke sirih tadi, para bajak laut pun terkesima.
           
Tiba giliran pinang untuk campuran sirih tadi, si Tekong mengambil pinang bulat yang masih berkulit, “Tak ado pulak kacip mambolah pinang ni” katanya lagi. Disaksikan para bajak laut yang sedang makan itu, dia menaruh pinang itu di kedua telapak tangannya, kemudian dengan atraktif diputar-putarnya telapak tangan itu dengan sedikit tenaga. Lalu mengupas kulit pinang tadi, dan mengambil kepingan pinang yang sudah hancur untuk campuran sirih, lalu dimakannya, sambil menawarkan sirih kepada Ketua Bajaka Laut, “Nah… basirih kamu incek”. Katanya menawarkan.
           
Demi melihat atraksi sang Tekong yang dahsyat tadi, kepala bajak laut, menjadi ciut nyalinya untuk meneruskan niatnya membajak si Tekong, “Paku limo inci sajo patah digigitnyo, pinang hancur dipulasnyo, tak talawan katuo ni samo anak buahnyo”, pikirnya. Kepala bajak laut memerintahkan anak buahnya bergegas turun dari kapal sambil berkata kepada si Tekong “Tarimo kasih Katuo !!,  sudah konyang kami, balek lah kami yo..,. katanya  sopan dan lemah lembut. Dari saat itu di selat malaka aman dari gangguan gerombolan bajak laut.
           
Konon, cerita ini tersiar dari mulut ke mulut di Kualuh, itu lah asal muasal munculnya istilah “Pusing Kualuh” yang terkenal di Labura. Namun, pusing kualuh di kala itu adalah strategi untuk kepentingan menyelamatkan orang banyak, tetapi kini  istilah itu dipakai untuk menyelamatkan kepentingan diri sendiri. (Penulis adalah Pengamat Sejarah Kualuh).

            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar