Oleh
: Syamsir Effendi “Buyung Leo” Lubis
“Berliku-liku
Sungai Kualuh, bunga kenanga harum setanjung. Hati yang gelap tolong disuluh karena
bidukku patah pendayung. Bunga kenanga harum setanjung ditiup angin dari hulu,
Karena bidukku patah pendayung tak tentu arah hendak dituju”.
Penggalan syair lagu diatas, ciptaan
almarhum Dahlan Nun yang berjiwa seni, dinyanyikan dan dipopulerkan sendiri oleh
beliau.
Syair lagu itu ditulis beliau ketika
melintas pulang dan pergi,dari dan ke Kampung Mesjid, naik sampan melalui jalur
sungai. Inspirasi menulis syair lagu itu datang dari harum semerbaknya bunga kenanga dan bunga tanjung yang ketika itu
banyak tumbuh disepanjang sungai Kualuh. Bila malam hari akan terlihat indah
dengan cahaya yang dipancarkan kelap-kelip/kunang-kunang kuning yang berterbangan
di pepohonan Barombang.
Kemudian tembang kenangan berirama
melayu itu pun kerap dinyanyikan di era tahun 60 an setiap tampil bersama Orkes
Melayu Gunung Sayang, atau Orkes Melayu Lambaian Masa, yang
ngetop saat itu di Aekkanopan, sekitarnya. Perlu juga diketahui bahwa Orkes
Gunung Sayang ketika tahun 70 an pernah tampil di RRI Nusantara III Medan,
bahkan sempat tour musik melayu ke Negara tetangga Malaysia.
Kemasyhuran Sungai Kualuh, adalah
salah satu bukti peninggalan berbagai sejarah panjang kehidupan rakyat dimasa
lalu, sebab dahulu sungai merupakan pusat budaya kehidupan manusia untuk bertahan hidup,
sejalan dengan sungai sebagai jalan tol
bebas hambatannya manusia kala itu. Sungai Kualuh mengalir dari Parsoburan
di Tapanuli Utara sampai ke Kualuh Leidong.
Diperkirakan Sungai Kualuh ini dahulu
kala, menjadi salah satu jalur lalu lintas migrasi rakyat Batak dari
Parsoburan, Porsea, Balige, Tapanuli Utara, umumnya ke kawasan pantai timur.
Disamping itu, melalui darat migrasi terjadi melalui Tangga Damuli, mengarah ke
kawasan Kecamatan Aek Natas dan Na IX-X. Maka sampai sekarang banyak masyarakat
yang ada di Labura dari etnis Batak Toba, mereka yang migrasi itu kebanyakan
memeluk agama Islam, karena berada di Tanah Melayu Kualuh.
Memang, pada masa zaman itu telah ada
jalan darat disisi Sungai Kualuh yang dirintis penjajah Belanda, mulai dari
Tanjung Mangedar ke Singgasana, kemudian menyeberang ke Paranginan sampai ke
Tanjung Pasir.
Tetapi jalan darat ini tidak optimal
digunakan oleh rakyat, karena alat transportasi darat sangat minim. Jalan darat
ini utamanya digunakan sebagai lalu lintas mengangkut berbagai hasil bumi yang
terkenal seperti nipah tanaman Sultan yakni pinang, nibung, kelapa kopra dan
karet disebelah hulu, yang kemudian disalurkan melalui Sungai Kualuh untuk di angkut
ke luar negeri.
Pada masa keemasannya dulu rakyat
tidak sulit untuk mencari nafkah dari hasil tangkapan ikan di Sungai Kualuh.
Disepanjang sungai itu terkenal banyak terdapat lubuk berbagai jenis ikan
sungai yang lezat cita rasanya.
Di sekitar Kampung Mesjid/Pantai
Belanak misalnya, terdapat banyak ikan belanak dan ikan jumpul, di Kuala Bangka
ikan tali, ikan cencang rebung dan ikan malim. Kemudian di Mencari Lawan ada
ikan baung, ikan tapa, dan ikan arwana/ikan mambang. Lalu di Sunge Udang,
terdapat banyak udang galah, di sekitar Gunting Saga hingga ke Tanjung Pasir
tempatnya ikan merah, ikan lemeduk dan ikan kalu.
Namun itu semua kini tinggal kenangan,
hingga tahun 80 ‘an masa keemasan ikan Sungai Kualuh tidak terdengar lagi.
Akibat banjir yang tidak menentu datangnya karena perambahan hutan di hulu, juga akibat
penangkapan ikan yang sembrono dengan memakai bahan-bahan kimia. Kini tangkapan
ikan untuk lauk makan saja sulit didapat, apalagi tangkapan ikan untuk dijual
dipastikan sudah tidak mungkin lagi sebagai mata pencaharian penduduk di sepanjang
Sungai Kualuh.
Sembari mengenang kehidupan yang ada
di sepanjang Kungai Kualuh, terlebih dahulu kita baiknya mengetahui asal muasal
penamaan sungai itu. Penamaan Sungai Kualuh, paling tidak memiliki tiga versi.
Pertama pendapat mengatakan, bahwa Sungai Kualuh
ini berdasarkan letak geografisnya, dari sebelah hulu di Tapanuli Utara,
namanya adalah Aek Kualuh. Sementara
mulai dari kampung Aek Baringin sampai ke hilir di muara selat malaka dinamai Sungai (Sunge)
Kualuh, ada perobahan penamaan, mungkin
penyesuaian karena dihilir penduduknya orang melayu. Namun tetap berlandaskan
nama Kualuh, hanya ada perubahan antara kata Aek di hulu, dan kata Sungai (Sunge)
di hilir.
Kedua, versi ini diceritakan kepada
penulis, pada saat hari raya idul fitri tahun 1395 H, oleh dua orang Atok
kelahiran sekitar tahun 1901. Atok pertama, mengatakan, bahwa nama sungai itu diberikan berdasarkan risalah
kesultanan. Bahwa dibawah pengawasan dan tunduk kepada Kesultanan Kualuh ada
delapan raja-raja kecil atau disebut
juga Raja Adat Hualu yang
berkampung disisi Sungai Kualuh.
Berdasarkan adanya delapan Raja adat inilah sungai tersebut dinamakan
Sungai Kualuh. Dalam bahasa ulu atau batak (dale)
Hualu bermakna = walu/delapan. Maka dalam versi ini, untuk menyesuaikan dengan
adat melayu, maka disebutlah menjadi Sungai
Kualuh sekarang.
Ketiga, oleh Atok yang kedua, mengisahkan bahwa asal-muasal
nama Sungai Kualuh itu berdasarkan ada tujuh sungai mengalir yang bermuara ke
Sungai Kualuh. Tujuh sungai itu berada di wilayah Labura.
Adapun ketujuh sungai tersebut yang
bermuara ke Sungai Kualuh adalah, 1.Sungai Air Hitam, (Sunge Ledong), 2. Sungai
Aek Kuo, 3. Sungai Aek Kanopan, 4. Sungai Aek Natas, 5. Sungai Simangalam. 6.
Sungai Aek Rimo, dan 7. Sungai Aek Tombus. Untuk Aek Rimo dan Aek Tombus
menyatu di Kuala Beringin, kemudian bermuara ke Sungai Kualuh. Gabungan tujuh
sungai yang bermuara ke induknya, yaitu Sungai Kualuh, maka ada delapan sungai yang terdapat
di Kesultanan Kualuh.
Terkait dengan bahasa Batak atau Orang Ulu yang berada di hulu Sungai Kualuh, untuk angka
delapan dilafazkan sebagai walu, karena
adanya pengaruh budaya dan bahasa melayu yang kuat di hilir, maka sungai itu dinamai
menjadi Sungai (Sunge) Kualuh.
Kampung Mesjid dulunya sebagai pusat
pemerintahan pertama, yang berada di tepian Sungai Kualuh menjadi penting dengan
pelabuhannya Tanjung Mangedar yang ramai. Dari sinilah tumbuhnya dinamika budaya
kehidupan yang melakukan kegiatan berbagai kegiatan mata pencaharian dan transaksi
ekonomi keluar negeri, Semenanjung Malaka, misalnya.
Karena itulah di sepanjang Sungai
Kualuh tumbuh perkampungan dan perladangan yang kemudian menjadi perkampungan
baru. Mulai dari hilir terdapat kampung-kampung.
Tanjung Leidong, dulunya kampung ini di buka berada ditanah berbentuk
semananjung, makanya disebut Tanjung. Dan ada kaitannya dengan sungai Aek Leidong Asahan, dan terdapat perkebunan karet diberi
nama Leidongwest, sungai tadi mengalir ke rawa-rawa Air Hitam, kemudian di
hilirnya melintas ke kampung Kelapo Sebatang, yang kemudian bermuara di Tanjung
Leidong, karena hulu sungai itu Leidong.
Bahwa dulunya Tanjung Leidong itu,
bangunannya terbuat dari nibung, mulai dari tiang, lantai, dan jalan-jalan titi
penghubung antar rumah dan lingkungan yang berada diatas air pasang. Nibung banyak terdapat
disana, dan nibung ini terkenal kuat dan tahan air, jadi cocok untuk dipakai
sebagai bahan bangunan di Tajung Ledong.
Kemudian ada kampung Kalapo Sabatang,
Toluk Pule Luar dan Tolup Pule Dalam, Tanjung Mangedar, Sunge Robut, Toluk Pie,
Sialang Gatab, Kampung Mesjid sebelumnya
nama kampung ini adalah Jatuhan
Batu, Sunge Sontang, Aek Kuo sekarang Kuala Bangka, Pulo Nipah, Sunge
Piandang, Singgasana, Mancari Lawan, Paranginan,
dan kampung Parsombahan.
Di kampung Parsombahan, terdapat
kuburan keramat “Si Halembe”, panjang kuburan itu lebih kurang 9 meter, terdengar
kabar memang Si Halembe itu tingginya 9 meter. Dahulu kuburan tersebut selalu
dijiarahi masyarakat untuk keperluan membayar nazar, dengan melepas ayam,
kambing, atau apa saja yang bisa ditinggalkan. Dahulu kuburan tersebut pakai
atap, dirawat orang-orang asli Kualuh yang berladang disekitarnya yang tahu
sejarah kuburan tersebut. Tapi sekarang, kuburan tersebut telah hampir hilang,
disekelilingnya telah ditanami pohon sawit orang-orang pendatang, dan banyak
babi peliharaan masyarakat berkeliaran di kuburan Si Halembe itu., Sungguh
memprihatinkan.
Pada pinggiran hulu Sungai Kualuh,
terdapat perkampungan, yaitu Hanna, Tanjung Pasir masa itu merupakan kampung
paling ramai dan menjadi tempat Istana Kesultanan Kualuh, Pondok Joruk
Silandorung, Bandar Lama, Parpaudangan, Pulo Dogom, Bandar Manis, Bangun, dan
Parhondalian.
Kemudian, tumbuh perkampungan baru
sejalan dengan dibukanya perkebunan Belanda dan Inggris , seperti Kebun Labuhan
Haji, Membang Muda, Damuli, Situngir, dan Aekkanopan yang sebelumnya bernama
Kampung Galugur, Parmanukan, Parnangkaan, Gunting Saga, Damuli, Situngir, dan
Londut.
Seterusnya setelah merdeka, banyak
orang Kualuh Hilir yang migrasi/pindah ke berbagai kampung lainnya, seperti ada
yang pindah ke Tanjung Balai, Tanjung Pasir, Gunting Saga, Aekkanopan, Dari Aek
Kuo atau Kuala Bangka, dan ada yang pindah ke Aekkanopan, Aekkorsik, Pulo
Bargot, Bulungihit Marbo, dan ada Kampung Kualuh terletak di Padang Halaban
yang dibuka oleh orang Kualuh.
Liku-liku Sungai Kualuh, memberi ilham cerita kepada alm.
Wak Panji yang dikenal sebagai penutur Cerita Rakyat Kualuh. Bahwa kegiatan
ekonomi dari Kampung Mesjid ke Malaya yang ditakuti di Selat Malaka adalah
Bajak Laut, kerap menjadi ancaman bagi pedagang yang melintas, tidak pilih
bulu, jarang pedagang yang selamat dari aksi Bajak Laut itu. Kalaupun ada yang
selamat, adalah kapal yang memiliki tekong/nakhoda dan awak kapal yang memiliki
tubuh kebal dan terampil berkelahi, dan semangat siap tempur.
Pada masa itu ada seorang tekong baru
yang mendapat pekerjaan membawa hasil bumi untuk di dijual ke Malaya, beliau
sadar bahwa tugas itu sangat beresiko, tinggi, sedangkan dia bukanlah sakti
mandraguna. Setelah kapal diisi muatan, sebelum berangkat dia memasang
akal-akalan, dia meminta kepada ABK untuk menyiapkan bekal “parnapuran”, juga meminta paku lima
inci.
Beliau mengambil buah pinang bulat
yang tua dan kering, kemudian pinang itu dengan pelan-pelan dipukul-pukul
sampai hancur biji dalamnya, sedang kulit luarnya masih kelihatan utuh.
Kemudian mengambil paku lima inci, dan
menggergaji paku itu samapai hampir putus. Setelah itu diperintahkanlah
ABK untuk mengangkat jangkar dan berlayar ke Malaya, mereka berangkat.
Tiba ditengah laut tempat sering
terjadi pembajakan pedagang , sang tekong memerintahkan ABK untuk membuang
jangkar, “Kito istiraghat disini, buang jangkagh, batanak kamu, biargh makan
kito” perintahnya. Para ABK, bingung, karena daerah itu rawan pembajakan, tapi
karena perintah tekong, jangkar pun dibuang, mereka berlabuh ditengah laut.
Betul, sedang mereka makan siang di
tengah laut itu, bermunculanlah bajak laut yang terkenal kejam. Sang Tekong
berkata “Ba…, datang kamu incek, naik la, apopun caghitonyo, kolo pun kamu ondak
marampok, mambunuh kami, makan la kito
dulu”, katanya kepada para bajak laut itu, yang memang sedang lapar. Sebelum
gerombolan bajak laut itu selesai makan, sang Tekong meminta salah seorang ABK
untuk mengambil sumpit tempat bekal Parnapuran tadi.
Begitu sirih akan diolesi kapur sirih
yang biasanya lembab dan lembut, ini kering dan keras, “Ba…yang koghasla kapur
ni, ambilkan paku di sumpit tu” katanya kepada ABK. Dari sumpit itu diambilnya paku
lima inci tadi, “Tak ado yang kocil paku ni ?, bosagh dan panjang kali ini”
katanya, tapi si Tekong menggigit paku itu, dan taaak… paku itu patah ”Ha… ini baghu pas…”, katanya dengan keras
sedikit parau, kemudian mengkorek kapur sirih itu dan mengoleskan ke sirih tadi,
para bajak laut pun terkesima.
Tiba giliran pinang untuk campuran
sirih tadi, si Tekong mengambil pinang bulat yang masih berkulit, “Tak ado
pulak kacip mambolah pinang ni” katanya lagi. Disaksikan para bajak laut yang
sedang makan itu, dia menaruh pinang itu di kedua telapak tangannya, kemudian dengan
atraktif diputar-putarnya telapak tangan itu dengan sedikit tenaga. Lalu
mengupas kulit pinang tadi, dan mengambil kepingan pinang yang sudah hancur
untuk campuran sirih, lalu dimakannya, sambil menawarkan sirih kepada Ketua
Bajaka Laut, “Nah… basirih kamu incek”. Katanya menawarkan.
Demi melihat atraksi sang Tekong yang
dahsyat tadi, kepala bajak laut, menjadi ciut nyalinya untuk meneruskan niatnya
membajak si Tekong, “Paku limo inci sajo patah digigitnyo, pinang hancur
dipulasnyo, tak talawan katuo ni samo anak buahnyo”, pikirnya. Kepala bajak
laut memerintahkan anak buahnya bergegas turun dari kapal sambil berkata kepada
si Tekong “Tarimo kasih Katuo !!, sudah
konyang kami, balek lah kami yo..,. katanya
sopan dan lemah lembut. Dari saat itu di selat malaka aman dari gangguan
gerombolan bajak laut.
Konon, cerita ini tersiar dari mulut
ke mulut di Kualuh, itu lah asal muasal munculnya istilah “Pusing Kualuh” yang
terkenal di Labura. Namun, pusing kualuh di kala itu adalah strategi untuk
kepentingan menyelamatkan orang banyak, tetapi kini istilah itu dipakai untuk menyelamatkan
kepentingan diri sendiri. (Penulis adalah Pengamat Sejarah Kualuh).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar