Oleh : Irwansyah Hasibuan
Pendahuluan
Sang waktu
telah bersaksi kepada kita, dalam perjalanan panjang yang membuat sesak nafas
dan kecemasan yang entah kapan berujung.
Negeri
ini kian menanggung perih tak tertahankan yang usah untuk terjawab, sekadar
terumuskan dengan baik pun ia masih belum terwujudkan. Begitu banyak perioritas yang harus
didahulukan, berlimpahnya janji yang ditumpahkan, menumpuknya harapan yang
ditambatkan, namun kita – sejujurnya
–
semakin
berbalik
dari arah masa depan yang pernah dicita-citakan para Bapak Bangsa.
Bagi rakyat
kita, yang sebagian besar kehidupannya tergantung kepada sektor agraria, tanah atau sumber daya
agraria lainnya, masih terlihat terang meronta-ronta untuk mendapatkan hak
pemilikan maupun penguasaan atas sumber agraria tersebut. Sebagai faktor
produksi, baik UUD 45 (naskah asli) maupun Undang Undang Pokok
Agraria (UUPA) 1960, telah meletakkan
semangat dan jiwa yang mengutamakan keadilan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat.
Darah,
nyawa, pergaduhan sengit serta korban harta dan kesempatan hidup pada generasi
mendatang yang berpangkal pada sengketa agraria, begitu padat mengisi hari-hari
kemerdekaan kita. Penulis menekankan
hari-hari kemerdekaan, sebab boleh jadi kita telah lama lupa bahwa kita bangsa
yang berdaulat, yang berhasil merebut kemerdekaan dari tangan penjajah karena
diplomasi, perang dan berakhirnya Perang Dunia (PD)
II.
Perdebatan
untuk menuju Pembaruan Agraria, telah lama berlangsung jauh sebelum UUPA 1960
itu sendiri dilahirkan. Sejak “Panitia Agraria Yogya” (1948), “Panitia Agraria
Jakarta” (1951), “Panitia Soewahyo” (1955), “Panitia Negara Urusan Agraria”
(1956), “Rancangan Soenarjo” (1960) hingga diterima bulat oleh anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) dan akhirnya
ditetapkan Presiden Soekarno tanggal 24 September 1960.
Prinsip-prinsip
bahwa sumber daya agraria harus digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat
sudah secara jelas tercantum dalam pasal 33 UUD 45 ayat 3 yang menyatakan bahwa
bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan yang terkandung di dya dikuasai
oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal ini
kemudian dijabarkan dalam UUPA 1960 yang menyebutkan sumber daya agraria harus
dikuasai oleh pihak-pihak yang kehidupannya sangat tergantung kepada sektor
agraria tersebut.
Perlu kita pahami, kebijakan
yang lahir kemudian lebih menunjukkan pertarungan kuasa guna mengisi sektor agraria
tersebut antara kehutanan, pertanian, penanaman modal, pertambangan, sumber
daya air, sumber daya hayati dan genetika, dan entah apalagi yang akan menyusul
kemudian. Tarik menarik antara kepentingan untuk memantapkan kedaulatan rakyat
dan bius neoliberalisme, menjadi
perdebatan yang kian membubung akhir-akhir ini.
Namun semuanya menandaskan,
belum berubahnya pemandangan untuk kita lebih optimis maju ke depan.
Perbincangan agraria, dominan oleh perspektif politik, hukum, keamanan dan
tentu saja kepentingan ekonomi. Narasi kebudayaan, kian terpinggirkan dan kalau
pun tersuarakan, ia hanya lamat-lamat terdengar di kejauhan.
Kebangsaan
dan Keadilan Sosial
Kita
memang perlu surut ke belakang sejenak untuk manandaskan bahwa bangsa dan
negara adalah konsep politik, yang tegas dan jelas jika keduanya memang sengaja
dipisahkan satu dengan lainnya. Namun ia menjadi kabur manakala disatukan
menjadi negara bangsa atau negara kebangsaan. Kemudian menjadi lebih kabur
lagi, jika konsep negara kebangsaan itu dimengerti dalam kerangka nasionalisme.
Sesungguhnyalah
bangsa dan negara merupakan konsep politik yang bisa bersaing satu sama lain.
Suatu bangsa bisa meliputi beberapa negara, semisal Jerman dan Italia hingga pertengahan abad ke
19. Sejarawan kawakan Eric Hobsbawm mengatakan, negara kebangsaan sering hanya
merupakan ideologi belaka tanpa kebenaran sejarah. Pikiran di balik ideologi
adalah pikiran yang anakronistis :
sekarang demikian, maka dulu juga demikian, padahal dulu tidak demikian.
Maksudnya,
negara kebangsaan yang sekarang ada seakan-akan sudah sejak dulu ada. Ini adalah
kebohongan sejarah. Tugas intelektual sejarah adalah membongkar kebohongan.
Karena itu,
betapa perlu sejarawan kritis terhadap masa lalu. Mengingat masa lalu sering dipergunakan sebagai
legitimasi untuk masa sekarang.
Selanjutnya
ia mengingatkan, kebohongan itu bahkan sudah dipakai dalam penulisan sejarah
zaman dulu. Misalnya tentang Kerajaan Macedonia. Sebelum abad Masehi dimulai
tak pernah ada negara nasional Yunani atau suatu kesatuan politik untuk
orang-orang Yunani. Kerajaan Macedonia tak berhubungan dengan negara nasional
Yunani, toh itu yang dipaksakan. Orang Yunani sendiri malah menganggap
Macedonia sebagai kerajaan barbar. Pendeknya, tak beralasan meninjau Macedonia
seakan mereka adalah suatu negara nasional (Die Zeit,16 September 1994).
Contoh
yang sama bisa dilihat melalui penulisan sejarah yang kita jumpai dalam rangka
pembentukan negara kebangsaan dan nasionalisme, seperti yang dituturkan Muhammad Yamin, bahwa kesatuan itu
ada sejak Sumpah Palapa Gajahmada tahun 1331. Dokumen tersebut dibenarkan pada
buku Nagarakretagama, yang ditulis pada tahun 1365.
Dalam
pemikiran Hobsbawm, penulisan Yamin ini mau tak mau harus digolongkan dalam
kebohongan sejarah yang harus dibongkar. Pembongkaran itu mungkin berakibat
pahit bagi konsep negara kebangsaan. Namun, jika pembongkaran itu tidak
dilakukan, kita tidak pernah sampai pada dasar sesungguhnya dari pembentukan
negara nasional.
Dalam
konkurensi di atas, tidaklah jelas, mana yang lebih dominan, bangsa atau
negara. Yang jelas, bila dipadukan menjadi negara kebangsaan, keduanya
mempunyai potensi untuk menindih satu sama lain, dan intensi untuk memisahkan
diri satu dari yang lain menjadi sulit dihindarkan. Kini kita merasakan, betapa
tampak gejala mencolok tentang rapuhnya konsep negara kebangsaan.
Kaburnya identitas nasional
Penyelewengan
itu terjadi pertama-tama, di mana kita menganggap kebangsaan itu lebih sebagai
masalah kultural daripada sebagai masalah politik. Kebangsaan itu seakan
hanyalah himpunan dari pelbagai keragaman kultural. Jika kebangsaan dimengerti
secara kultural semata-mata, maka kebangsaan itu juga akan dimengerti sebagai
sesuatu yang mengacu pada pencarian identitas nasional kita belaka.
Di
sini patut diingat, bahwa identitas nasional sebenarnya berupa sesuatu yang
abstrak. Seperti dikatakan Odo Marquard, identitas nasional itu hanyalah eine
Art Zweckmaesisskeit ohne Zweck (sesuatu yang bertujuan tanpa tujuan).
Maksudnya, untuk apakah
kita mencari dan merumuskan identitas nasional, jika pencarian dan perumusan
itu akhirnya sama sekali tidak mengenai diri dan ikhwal hidup kita secara
nyata?
Harus
diakui, bahwa orang sulit dapat merasakan identitasnya dalam makrokosmosnya
yang nasional. Bangsa-bangsa kita yang jamak itu hanya dapat merasakan
identitasnya dalam mikrokosmosnya yang lokal. Bukan dalam negara nasional ia
dapat merasakan tanah airnya yang nyata tetapi dalam tanah tumpah darahnya yang
lokal.
Maka
daripada berbicara tentang identitas nasional, negara lebih baik memberi
kesempatan warganya untuk menikmati hidupnya dan identitasnya secara nyata,
yaitu dalam mikrokosmosnya yang kecil dan terbatas, bukan dalam makrokosmos
negara kebangsaan yang luas dan abstrak.
Sepintas
konsep kebangsaan yang melulu kultural tampaknya dapat memberi kesempatan
masih-masing kelompok atau warga masyarakat untuk menentukan identitasnya
secara lokal. Anggapan ini keliru. Tak mungkin kelompok atau warga masyarakat
dapat dan bebas mencari dan menghayati identitas kulturalnya, jika mereka tidak
mempunyai hak politik untuk hal tersebut.
Jadi
bukan kultur tetapi politik yang memungkinkan orang untuk bebas menghayati
kebudayaannya. Di sinilah terletak kejelian founding fathers, para
pendahulu kita :
mereka memandang kebangsaan bukan sebagai konsep kultural tetapi politik. Hanya
dengan kebangsaan yang menjamin hak politik warga negara untuk menentukan
dirinya sesuai dengan kulturnya, maka masing-masing kelompok etnis dan budaya
yang tergabung di dalamnya akan terjamin menghayati identitasnya.
Justru
karena kebangsaan itu konsep politik, yang menjamin kebebasan bagi warga atau
kelompok untuk bebas menghayati keragaman kulturalnya, maka kebangsaan tak
pernah mempunyai identitas yang pasti dan jelas. Di sini kebangsaan tak
menjaminkan suatu identitas nasional. Memakai bahasa Martin Walser, kebangsaan
itu hanyalah sekadar sejarah. Sebab tidakkah bangsa atau nasion itu adalah
ungkapan dari proses pembentukan yang dinyatakan oleh sejarah, di mana
kelompok-kelompok masyarakat tersebut bergulat untuk menjadikan dan membentuk
dirinya secara bersama-sama?
Kebangsaan
itu terjadi dan terbentuk sesuai dengan proses pembentukan sejarah. Karena
sejarah itu terbuka, maka ia tak pernah final. Kebangsaan itu bukan negara,
walau kebangsaan itu sendiri mempunyai negara. Dengan kata lain, bukan negara
melainkan kebangsaan. Sehingga logikanya menjadi berbalik dari yang selama ini
ada, kebangsaanlah yang seharusnya menentukan dan mengatur negara. Akan tetapi,
yang kebanyakan terjadi, lebih-lebih di negara kita, negaralah yang mengatur
kebangsaan itu sedemikian rupa sampai negara akhirnya menjadi kebangsaan
sendiri.
Maka
negara mengatur kebangsaan itu sampai ke akar-akarnya, dan kemudian menelan
kebangsaan itu hingga ke tulang sumsum, sampai akhirnya negara identik dengan
kebangsaan itu sendiri. Apa yang dimaukan oleh negara, dan itu sering berarti
apa yang dimaukan oleh penguasa, maka ia harus terjadi pada bangsa. Itulah yang
terjadi secara mencolok semasa Orde Baru
di bawah Soeharto, dan terpelesetnya Bung Karno melalui Dekrit 5 Juli 1959 yang
membubarkan Konstituante untuk masuk ke Demokrasi Terpimpin.
Patut
diingat, sebelum manusia berbunga dengan identitas kulturnya, mereka perlu
terlebih dahulu tumbuh dari tanah materialnya. Artinya, tak mungkin manusia
bisa menghayati kebudayaannya secara maksimal, jika mereka tidak hidup dari
kecukupan material. Sebelum berbudaya, mereka juga harus terlebih dahulu makan.
Tradisi-tradisi yang dibangkitkan untuk memperkukuh kelekatan kultural,
berjalan seiring dengan jaminan kesejahteraannya melalui alat produksi yang ia
miliki, yakni: Tanah untuk rakyat.
Bagaimana di era Otonomi Daerah?
Reformasi bercita-cita pada
terciptanya Kedaulatan Rakyat dan Otonomi Daerah. Namun yang terjadi justru kedaulatan
partai politik dan otonomi pemerintah daerah. Sungguh meleset dari harapan
semula. Pergantian pemimpin daerah silih berganti, perilaku parpol semakin mendidihkan darah rakyat, kepemimpinan
nasional kian memuakkan dan parade kekayaan hasil korupsi semakin menggila
dilakukan aparatur
negara. Sengketra agraria yang sejak lama tak kunjung usai, di masa rejim korup
di bawah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sekarang ini pun hanya
mampu memberikan janji-janji. Janji tanah untuk rakyat yang semakin lamat-lamat
kedengaran.
Untuk Sumatera Utara, riwayat sengketa
agraria telah berusia panjang. Dimasa Kabinet
Parlementer,
Wilopo lengser sebagai perdana menteri karena pergolakan petani di Tanjung
Morawa. UU
Pokok Agraria (UUPA) no 5 tahun 1960 yang lahir dari berbagai perdebatan
ideologis di masa lalu, menunjukkan saat itu pemerintahan yang memang
benar-benar mampu memahami aspirasi rakyatnya.
Sungguh disayangkan UU yang
berpihak kepada rakyat ini, tidak
melahirkan peraturan yang mengatur dibawahnya, dan ditindih oleh prahara
politik 1965 yang kemudian menjadi alasan utama bagi Orde Baru untuk merancang
sebuah negara otoriter yang berwatak Kapitalistik.
Di masa SBY, yang lebih berperan sebagai
mandor yang baik bagi neoliberal, semakin menyempurnakan tanah, air, bumi dan
yang terkandung di dalamnya untuk dikuasai oleh asing.
Pertanyaan kritis kemudian
adalah, bila yang di pusat sudah demikian buruknya, bagaimana mungkin ada
pemerintahan daerah yang mampu bersikap bertolak belakang dengannya? Labura
sebagai kabupaten baru, tentu tak lepas dari perangkap semacam ini, dimana
penguasaan tanah berjalan timpang antara yang dimiliki rakyat kebanyakan dengan
perusahaan-perusahaan negara maupun asing. Belum adanya UU yang mengakomodir
pembagian keuntungan antara daerah dan pusat terkait khusus mengenai
perkebunan, menyebabkan ketimpangan pendapatan semakin tajam untuk konteks
Labura.
Disinilah dibutuhkan ketajaman
pandangan kepemimpin daerah untuk mampu melakukan penghitungan cermat antara
apa yang diperoleh rakyatnya, dengan apa yang ditarik oleh pusat di sepanjang
wilayah kekuasaannya. Rakyat tentu lebih merindukan kepemimpinan visioner yang
demikian, daripada sekadar pemimpin yang sibuk hilir mudik untuk aktifitas
seremonial. Rakyat mendambakan pemimpin yang bisa berbicara dengan dada tegak
terhadap pemerintah pusat, manakala harus memperjuangkan hak-hak daerah yang
sudah ditetapkan. Bukan menghamba, apalagi mencari-cari calo di DPR RI maupun
di kantor pemerintah pusat lainnya untuk mendapatkan hak nya sendiri.
Namun harus disadari,
kepemimpinan yang demikian mensyaratkan watak pemimpin yang matang secara
politik dan dewasa dalam berpikir, di samping dekat dengan jantung harapan
rakyatnya. Sulit memang mendapatkan kepemimpinan yang demikian di era otonomi
daerah sekarang ini. Justru yang terjadi lebih dari 90 % dalam menjalankan
kepemimpinannya, antara Bupati/Walikota dengan wakilnya pecah kongsi di
perjalanan. Tak sedikit kita mendengar banyak Wakil Walikota/Bupati yang
dikandangkan, dan perpecahan itu berimplikasi hingga penggunaan dana APBD
tahunan yang sudah ditetapkan. Birokrasi kemudian diseret-seret untuk mengikuti
perpecahan tersebut, dan kesemuanya ini berdampak serius pada melorotnya
pelayanan yang diberikan pada rakyat.
Kaitannya dengan pembaruan
agraria sebagaimana yang di amanatkan UU, persoalan otonomi daerah pertama-tama
dan yang utama terletak pada kepemimpinan itu sendiri. Pemerintahan yang baik
tentu tidak hanya menggunakan kacamata kuda untuk semata-mata taqlid pada
bangunan sistem birokrasi itu sendiri. Pelayanan pada rakyat, berarti terkait
upaya untuk mensejahterakan rakyat itu sendiri, dimana tanah sebagai alat
produksi rakyat harus mendapat tempat dalam pengelolaan pemerintah yang baik
dan amanah.
Singkat kata, suasana berbangsa
dan bernegara dewasa ini sedang disergap rasa perih dan menggoyahkan akibat
korupsi yang merajalela di mana-mana, maka bangunan kepemimpinan di daerah
masih punya waktu untuk tidak meniru apa yang terjadi di pusat. Bila SBY
sempoyongan karena menghadapi gempuran dan tudingan akibat perbuatannya
sendiri, dimana suara untuk menjatuhkannya sebelum 2014 kian nyaring terdengar
ke seluruh pelosok negeri, maka sinyal ini perlu di baca dengan seksama oleh kepemimpinan
pemerintah daerah agar kian mendekatkan diri pada rakyatnya.
Rakyat sudah punya pengalaman
untuk menjatuhkan rejim diktator di
tahun 1998, dimana isu tanah bagian dari akumulasi proses penggulingan
Soeharto. Untuk tidak
mengulangi kesalahan, agaknya lebih bijak manakala pengalaman di masa lalu
bisa dijadikan pelajaran penting bagi
penyelenggara pemerintah sekarang ini. Rejim akan silih berganti, Rakyat
Bersatu Tak Bisa Dikalahkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar