Minggu, 01 April 2012

Menimbang Politik Kebudayaan Untuk Pembaruan Agraria



Oleh : Irwansyah Hasibuan

Pendahuluan
 Sang waktu telah bersaksi kepada kita, dalam perjalanan panjang yang membuat sesak nafas dan kecemasan yang entah kapan berujung. Negeri ini kian menanggung perih tak tertahankan yang usah untuk terjawab, sekadar terumuskan dengan baik pun ia masih belum terwujudkan. Begitu banyak perioritas yang harus didahulukan, berlimpahnya janji yang ditumpahkan, menumpuknya harapan yang ditambatkan, namun kita – sejujurnya semakin berbalik dari arah masa depan yang pernah dicita-citakan para Bapak Bangsa.

Bagi rakyat kita, yang sebagian besar kehidupannya tergantung  kepada sektor agraria, tanah atau sumber daya agraria lainnya, masih terlihat terang meronta-ronta untuk mendapatkan hak pemilikan maupun penguasaan atas sumber agraria tersebut. Sebagai faktor produksi, baik UUD 45 (naskah asli) maupun Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960, telah meletakkan semangat dan jiwa yang mengutamakan keadilan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Darah, nyawa, pergaduhan sengit serta korban harta dan kesempatan hidup pada generasi mendatang yang berpangkal pada sengketa agraria, begitu padat mengisi hari-hari kemerdekaan kita. Penulis menekankan hari-hari kemerdekaan, sebab boleh jadi kita telah lama lupa bahwa kita bangsa yang berdaulat, yang berhasil merebut kemerdekaan dari tangan penjajah karena diplomasi, perang dan berakhirnya Perang Dunia (PD) II.

Perdebatan untuk menuju Pembaruan Agraria, telah lama berlangsung jauh sebelum UUPA 1960 itu sendiri dilahirkan. Sejak “Panitia Agraria Yogya” (1948), “Panitia Agraria Jakarta” (1951), “Panitia Soewahyo” (1955), “Panitia Negara Urusan Agraria” (1956), “Rancangan Soenarjo” (1960) hingga diterima bulat oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) dan akhirnya ditetapkan Presiden Soekarno tanggal 24 September 1960.

Prinsip-prinsip bahwa sumber daya agraria harus digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sudah secara jelas tercantum dalam pasal 33 UUD 45 ayat 3 yang menyatakan bahwa bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan yang terkandung di dya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal ini kemudian dijabarkan dalam UUPA 1960 yang menyebutkan sumber daya agraria harus dikuasai oleh pihak-pihak yang kehidupannya sangat tergantung kepada sektor agraria tersebut.

Perlu kita pahami, kebijakan yang lahir kemudian lebih menunjukkan pertarungan kuasa guna mengisi sektor agraria tersebut antara kehutanan, pertanian, penanaman modal, pertambangan, sumber daya air, sumber daya hayati dan genetika, dan entah apalagi yang akan menyusul kemudian. Tarik menarik antara kepentingan untuk memantapkan kedaulatan rakyat dan bius neoliberalisme, menjadi perdebatan yang kian membubung akhir-akhir ini.

Namun semuanya menandaskan, belum berubahnya pemandangan untuk kita lebih optimis maju ke depan. Perbincangan agraria, dominan oleh perspektif politik, hukum, keamanan dan tentu saja kepentingan ekonomi. Narasi kebudayaan, kian terpinggirkan dan kalau pun tersuarakan, ia hanya lamat-lamat terdengar di kejauhan.

Kebangsaan dan Keadilan Sosial

Kita memang perlu surut ke belakang sejenak untuk manandaskan bahwa bangsa dan negara adalah konsep politik, yang tegas dan jelas jika keduanya memang sengaja dipisahkan satu dengan lainnya. Namun ia menjadi kabur manakala disatukan menjadi negara bangsa atau negara kebangsaan. Kemudian menjadi lebih kabur lagi, jika konsep negara kebangsaan itu dimengerti dalam kerangka nasionalisme.

Sesungguhnyalah bangsa dan negara merupakan konsep politik yang bisa bersaing satu sama lain. Suatu bangsa bisa meliputi beberapa negara, semisal  Jerman dan Italia hingga pertengahan abad ke 19. Sejarawan kawakan Eric Hobsbawm mengatakan, negara kebangsaan sering hanya merupakan ideologi belaka tanpa kebenaran sejarah. Pikiran di balik ideologi adalah pikiran yang anakronistis : sekarang demikian, maka dulu juga demikian, padahal dulu tidak demikian.

Maksudnya, negara kebangsaan yang sekarang ada seakan-akan sudah sejak dulu ada. Ini adalah kebohongan sejarah. Tugas intelektual sejarah adalah membongkar kebohongan. Karena itu, betapa perlu sejarawan kritis terhadap masa lalu. Mengingat masa lalu sering dipergunakan sebagai legitimasi untuk masa sekarang.

Selanjutnya ia mengingatkan, kebohongan itu bahkan sudah dipakai dalam penulisan sejarah zaman dulu. Misalnya tentang Kerajaan Macedonia. Sebelum abad Masehi dimulai tak pernah ada negara nasional Yunani atau suatu kesatuan politik untuk orang-orang Yunani. Kerajaan Macedonia tak berhubungan dengan negara nasional Yunani, toh itu yang dipaksakan. Orang Yunani sendiri malah menganggap Macedonia sebagai kerajaan barbar. Pendeknya, tak beralasan meninjau Macedonia seakan mereka adalah suatu negara nasional (Die Zeit,16 September 1994).

Contoh yang sama bisa dilihat melalui penulisan sejarah yang kita jumpai dalam rangka pembentukan negara kebangsaan dan nasionalisme, seperti yang  dituturkan Muhammad Yamin, bahwa kesatuan itu ada sejak Sumpah Palapa Gajahmada tahun 1331. Dokumen tersebut dibenarkan pada buku Nagarakretagama, yang ditulis pada tahun 1365.

Dalam pemikiran Hobsbawm, penulisan Yamin ini mau tak mau harus digolongkan dalam kebohongan sejarah yang harus dibongkar. Pembongkaran itu mungkin berakibat pahit bagi konsep negara kebangsaan. Namun, jika pembongkaran itu tidak dilakukan, kita tidak pernah sampai pada dasar sesungguhnya dari pembentukan negara nasional.

Dalam konkurensi di atas, tidaklah jelas, mana yang lebih dominan, bangsa atau negara. Yang jelas, bila dipadukan menjadi negara kebangsaan, keduanya mempunyai potensi untuk menindih satu sama lain, dan intensi untuk memisahkan diri satu dari yang lain menjadi sulit dihindarkan. Kini kita merasakan, betapa tampak gejala mencolok tentang rapuhnya konsep negara kebangsaan.

Kaburnya identitas nasional

Penyelewengan itu terjadi pertama-tama, di mana kita menganggap kebangsaan itu lebih sebagai masalah kultural daripada sebagai masalah politik. Kebangsaan itu seakan hanyalah himpunan dari pelbagai keragaman kultural. Jika kebangsaan dimengerti secara kultural semata-mata, maka kebangsaan itu juga akan dimengerti sebagai sesuatu yang mengacu pada pencarian identitas nasional kita belaka.

Di sini patut diingat, bahwa identitas nasional sebenarnya berupa sesuatu yang abstrak. Seperti dikatakan Odo Marquard, identitas nasional itu hanyalah eine Art Zweckmaesisskeit ohne Zweck (sesuatu yang bertujuan tanpa tujuan). Maksudnya, untuk apakah kita mencari dan merumuskan identitas nasional, jika pencarian dan perumusan itu akhirnya sama sekali tidak mengenai diri dan ikhwal hidup kita secara nyata?

Harus diakui, bahwa orang sulit dapat merasakan identitasnya dalam makrokosmosnya yang nasional. Bangsa-bangsa kita yang jamak itu hanya dapat merasakan identitasnya dalam mikrokosmosnya yang lokal. Bukan dalam negara nasional ia dapat merasakan tanah airnya yang nyata tetapi dalam tanah tumpah darahnya yang lokal.

Maka daripada berbicara tentang identitas nasional, negara lebih baik memberi kesempatan warganya untuk menikmati hidupnya dan identitasnya secara nyata, yaitu dalam mikrokosmosnya yang kecil dan terbatas, bukan dalam makrokosmos negara kebangsaan yang luas dan abstrak.

Sepintas konsep kebangsaan yang melulu kultural tampaknya dapat memberi kesempatan masih-masing kelompok atau warga masyarakat untuk menentukan identitasnya secara lokal. Anggapan ini keliru. Tak mungkin kelompok atau warga masyarakat dapat dan bebas mencari dan menghayati identitas kulturalnya, jika mereka tidak mempunyai hak politik untuk hal tersebut.

Jadi bukan kultur tetapi politik yang memungkinkan orang untuk bebas menghayati kebudayaannya. Di sinilah terletak kejelian founding fathers, para pendahulu kita : mereka memandang kebangsaan bukan sebagai konsep kultural tetapi politik. Hanya dengan kebangsaan yang menjamin hak politik warga negara untuk menentukan dirinya sesuai dengan kulturnya, maka masing-masing kelompok etnis dan budaya yang tergabung di dalamnya akan terjamin menghayati identitasnya.

Justru karena kebangsaan itu konsep politik, yang menjamin kebebasan bagi warga atau kelompok untuk bebas menghayati keragaman kulturalnya, maka kebangsaan tak pernah mempunyai identitas yang pasti dan jelas. Di sini kebangsaan tak menjaminkan suatu identitas nasional. Memakai bahasa Martin Walser, kebangsaan itu hanyalah sekadar sejarah. Sebab tidakkah bangsa atau nasion itu adalah ungkapan dari proses pembentukan yang dinyatakan oleh sejarah, di mana kelompok-kelompok masyarakat tersebut bergulat untuk menjadikan dan membentuk dirinya secara bersama-sama?

Kebangsaan itu terjadi dan terbentuk sesuai dengan proses pembentukan sejarah. Karena sejarah itu terbuka, maka ia tak pernah final. Kebangsaan itu bukan negara, walau kebangsaan itu sendiri mempunyai negara. Dengan kata lain, bukan negara melainkan kebangsaan. Sehingga logikanya menjadi berbalik dari yang selama ini ada, kebangsaanlah yang seharusnya menentukan dan mengatur negara. Akan tetapi, yang kebanyakan terjadi, lebih-lebih di negara kita, negaralah yang mengatur kebangsaan itu sedemikian rupa sampai negara akhirnya menjadi kebangsaan sendiri.

Maka negara mengatur kebangsaan itu sampai ke akar-akarnya, dan kemudian menelan kebangsaan itu hingga ke tulang sumsum, sampai akhirnya negara identik dengan kebangsaan itu sendiri. Apa yang dimaukan oleh negara, dan itu sering berarti apa yang dimaukan oleh penguasa, maka ia harus terjadi pada bangsa. Itulah yang terjadi secara mencolok  semasa Orde Baru di bawah Soeharto, dan terpelesetnya Bung Karno melalui Dekrit 5 Juli 1959 yang membubarkan Konstituante untuk masuk ke Demokrasi Terpimpin.

Patut diingat, sebelum manusia berbunga dengan identitas kulturnya, mereka perlu terlebih dahulu tumbuh dari tanah materialnya. Artinya, tak mungkin manusia bisa menghayati kebudayaannya secara maksimal, jika mereka tidak hidup dari kecukupan material. Sebelum berbudaya, mereka juga harus terlebih dahulu makan. Tradisi-tradisi yang dibangkitkan untuk memperkukuh kelekatan kultural, berjalan seiring dengan jaminan kesejahteraannya melalui alat produksi yang ia miliki, yakni: Tanah untuk rakyat.

Bagaimana di era Otonomi Daerah?

Reformasi bercita-cita pada terciptanya Kedaulatan Rakyat dan Otonomi Daerah. Namun yang terjadi justru kedaulatan partai politik dan otonomi pemerintah daerah. Sungguh meleset dari harapan semula. Pergantian pemimpin daerah silih berganti, perilaku parpol semakin  mendidihkan darah rakyat, kepemimpinan nasional kian memuakkan dan parade kekayaan hasil korupsi semakin menggila dilakukan aparatur negara. Sengketra agraria yang sejak lama tak kunjung usai, di masa rejim korup di bawah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sekarang ini pun hanya mampu memberikan janji-janji. Janji tanah untuk rakyat yang semakin lamat-lamat kedengaran.

Untuk Sumatera Utara, riwayat sengketa agraria telah berusia panjang. Dimasa Kabinet Parlementer, Wilopo lengser sebagai perdana menteri karena pergolakan petani di Tanjung Morawa. UU Pokok Agraria (UUPA) no 5 tahun 1960 yang lahir dari berbagai perdebatan ideologis di masa lalu, menunjukkan saat itu pemerintahan yang memang benar-benar mampu memahami aspirasi rakyatnya.

Sungguh disayangkan UU yang berpihak kepada rakyat ini, tidak melahirkan peraturan yang mengatur dibawahnya, dan ditindih oleh prahara politik 1965 yang kemudian menjadi alasan utama bagi Orde Baru untuk merancang sebuah negara otoriter yang berwatak Kapitalistik. Di  masa SBY, yang lebih berperan sebagai mandor yang baik bagi neoliberal, semakin menyempurnakan tanah, air, bumi dan yang terkandung di dalamnya untuk dikuasai oleh asing.

Pertanyaan kritis kemudian adalah, bila yang di pusat sudah demikian buruknya, bagaimana mungkin ada pemerintahan daerah yang mampu bersikap bertolak belakang dengannya? Labura sebagai kabupaten baru, tentu tak lepas dari perangkap semacam ini, dimana penguasaan tanah berjalan timpang antara yang dimiliki rakyat kebanyakan dengan perusahaan-perusahaan negara maupun asing. Belum adanya UU yang mengakomodir pembagian keuntungan antara daerah dan pusat terkait khusus mengenai perkebunan, menyebabkan ketimpangan pendapatan semakin tajam untuk konteks Labura.

Disinilah dibutuhkan ketajaman pandangan kepemimpin daerah untuk mampu melakukan penghitungan cermat antara apa yang diperoleh rakyatnya, dengan apa yang ditarik oleh pusat di sepanjang wilayah kekuasaannya. Rakyat tentu lebih merindukan kepemimpinan visioner yang demikian, daripada sekadar pemimpin yang sibuk hilir mudik untuk aktifitas seremonial. Rakyat mendambakan pemimpin yang bisa berbicara dengan dada tegak terhadap pemerintah pusat, manakala harus memperjuangkan hak-hak daerah yang sudah ditetapkan. Bukan menghamba, apalagi mencari-cari calo di DPR RI maupun di kantor pemerintah pusat lainnya untuk mendapatkan hak nya sendiri.

Namun harus disadari, kepemimpinan yang demikian mensyaratkan watak pemimpin yang matang secara politik dan dewasa dalam berpikir, di samping dekat dengan jantung harapan rakyatnya. Sulit memang mendapatkan kepemimpinan yang demikian di era otonomi daerah sekarang ini. Justru yang terjadi lebih dari 90 % dalam menjalankan kepemimpinannya, antara Bupati/Walikota dengan wakilnya pecah kongsi di perjalanan. Tak sedikit kita mendengar banyak Wakil Walikota/Bupati yang dikandangkan, dan perpecahan itu berimplikasi hingga penggunaan dana APBD tahunan yang sudah ditetapkan. Birokrasi kemudian diseret-seret untuk mengikuti perpecahan tersebut, dan kesemuanya ini berdampak serius pada melorotnya pelayanan yang diberikan pada rakyat.

Kaitannya dengan pembaruan agraria sebagaimana yang di amanatkan UU, persoalan otonomi daerah pertama-tama dan yang utama terletak pada kepemimpinan itu sendiri. Pemerintahan yang baik tentu tidak hanya menggunakan kacamata kuda untuk semata-mata taqlid pada bangunan sistem birokrasi itu sendiri. Pelayanan pada rakyat, berarti terkait upaya untuk mensejahterakan rakyat itu sendiri, dimana tanah sebagai alat produksi rakyat harus mendapat tempat dalam pengelolaan pemerintah yang baik dan amanah.

Singkat kata, suasana berbangsa dan bernegara dewasa ini sedang disergap rasa perih dan menggoyahkan akibat korupsi yang merajalela di mana-mana, maka bangunan kepemimpinan di daerah masih punya waktu untuk tidak meniru apa yang terjadi di pusat. Bila SBY sempoyongan karena menghadapi gempuran dan tudingan akibat perbuatannya sendiri, dimana suara untuk menjatuhkannya sebelum 2014 kian nyaring terdengar ke seluruh pelosok negeri, maka sinyal ini perlu di baca dengan seksama oleh kepemimpinan pemerintah daerah agar kian mendekatkan diri pada rakyatnya.

Rakyat sudah punya pengalaman untuk menjatuhkan rejim diktator  di tahun 1998, dimana isu tanah bagian dari akumulasi proses penggulingan Soeharto. Untuk tidak mengulangi kesalahan, agaknya lebih bijak manakala pengalaman di masa lalu bisa  dijadikan pelajaran penting bagi penyelenggara pemerintah sekarang ini. Rejim akan silih berganti, Rakyat Bersatu Tak Bisa Dikalahkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar