Minggu, 01 April 2012

Usung Bendera PT. GDLP/SLJ

                                              16 Tahun Ching Kun Bohongi Rakyat Kualuh


Catatan : Haris Muda Daulay
Pemred Berita Rakyat


PENGANTAR
Tulisan dalam bentuk catatan ini sengaja kembali disajikan pada penerbitan Berita Rakyat edisi akhir Maret sekarang. Selain dimaksudkan berupaya ikut serta “menagih” janji Ching Kun alias Johan, pengusaha perkebunan dan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) bermarkas di Desa Sukaramebaru, Kecamatan Kualuhhulu, Labuhanbatu Utara (Labura). Lebih dari itu - amat sangat tidak mustahil andai Bupati dan wakil rakyat di lembaga Legislatif terhormat mau - sebagai secuil masukan dan mungkin saja acuan dalam menyelesaikan permasalahan yang tidak pernah kunjung berujung antara 2.017 Kepala Keluarga (KK) calon petani plasma yang terdaftar di Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Sri Sahabat, pimpinan Aslan Nur Sitompul. Semoga tulisan dengan gaya bahasa sederhana dan apa adanya ini tidak cuma dilihat dari kacamata negataif melulu. Spesial kepada Bupati, Ketua DPRD, Sekda dan Asisten Pemerintahan dan Kesra Setdakab Labura, Drs. H. Amin Daulay, M.Si selaku Ketua Tim Sengketa Tanah. Mudah-mudahan.

***

PEMBOHONG. Barangkali, inilah kata yang paling pantas dialamatkan kepada Ching Kun alias Johan, pemilik dua Perusahaan Terbatas (PT) sekaligus. PT. Graha Dhura Leidong Prima (GDLP) dan PT. Sawita Leidong Jaya (SLJ), keduanya bermarkas di Desa Sukarame Baru, Kecamatan Kualuhhulu, Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura). Sebelum dimekarkan, Labura termasuk ke dalam wilayah Labuhanbatu.
      
Kenapa? Dulu (1996), sebelum Ching Kun berhasil “menancapkan kuku” di Kabupaten yang sekarang punya motto “Basimpul Kuat Babontuk Elok” ini, perangai dan tingkah laku pengusaha “mata sipit” dan kroni plus “anak main” terpercayanya, Sumardi Syarif, SE, terkesan cukup santun.
     
Diberbagai kesempatan, Ching Kun kerap mempromosikan diri sebagai “putra daerah” kelahiran Tanjung Leidong dan praktis bisa membabtis diri sebagai “Anak Kualuh” yang otomatis pula akan memuluskan misi perusahaan di bawah bendera PT. GDLP/SLJ. Dalam banyak pertemuan dengan kelompok masyarakat, Ching Kun kerap mengulurkan tangan membantu, baik dalam bentuk finansial maupun kebutuhan lain yang dihajatkan masyarakat.
      
Dengan dalih ingin membangun daerah kelahiran serta konon berupaya memancing investor lain ikut menanamkan modal disana, akhirnya Ching Kun bisa leluasa malang melintang di 3 Kecamatan (Kualuhhulu, Kualuhhilir, Kualuh Leidong) seraya mengumbar janji akan mensejahterakan masyarakat dengan perolehan pendapatan perkapita yang aduhai, asalkan kedua PT miliknya bisa beroperasi membuka lahan perkebunan dan Pabrik Kelapa Sawit (PKS).
      
Kala itu, masyarakat di tiga Kecamatan tersebut merasa terbuai sambil manggut-manggut tanda setuju mendengar paparan konsep muluk yang sengaja dikemas secara apik oleh pengusaha penduduk kota Medan ini. Lebih terlena lagi, saat Ching Kun menjanjikan  akan mengeluarkan 20% dari jumlah lahan yang dia olah kepada masyarakat petani dalam bentuk kebun plasma.
      
Namun belakangan, itikad tidak baik Ching Kun mulai ketahuan. Menganggap semua masalah lapangan sudah bisa dia atur, tingkah laku Ching Kun mendadak berubah drastis.
     
Ternyata Ching Kun tidak hanya bermaksud membuka usaha perkebunan dan PKS di Desa Sukaramebaru, lebih maju lagi, rupanya pengusaha asal Medan yang sering mengaku “putra daerah” itu ingin memonopoli seluruh lahan pertanian di seputaran areal izin prinsip.
      
Berbekal Surat Izin Prinsip yang dikeluarkan Bupati Labuhanbatu – waktu itu – H. Banua Isfenyah Rambe dibantu Kepala Desa Sukarame (Alm. Sidar) dan Kades Sukaramebaru (Sutardi), Ching Kun melalui lobi-lobi cantik “anak main” nya, Sumardi, SE berhasil menguasai puluhan ribu hektar tanah dengan cara ganti rugi/jual beli fiktif.
     
Melihat sepak terjang Ching Kun dinilai amat sangat cekatan di lapangan, masyarakat yang sudah puluhan tahun berdomisili disana sebagai petani tradisional mulai gelisah. “jangan-jangan lahan pertanian kami pun bakalan digarap Ching Kun, “ begitu kata hati petani mereka reka.
Tak pelak, keangkuhan Ching Kun semakin kelihatan. Apa yang selama ini digelisahkan petani tradisional menjadi kenyataan. Ching Kun merambah dan terus merambah semua lahan pertanian yang ada diseputaran arealnya. Tak peduli itu milik siapa.
     
Untuk mempertahankan keberadaan areal garapannya, Ching Kun sudah tidak lagi ambil peduli terhadap masyarakat petani. Kalau perlu main gimbal. Kecuali mengandalkan oknum berseragam yang di “order” dari salah satu kesatuan di Tanjungbalai, Ching Kun juga ‘menyewa” sejumlah bodyguard bertitel preman. Makanya jangan heran, sejak Ching Kun menguasai puluhan ribu hektar lahan di tiga Kecamatan tersebut, warga desa sudah merasa seperti “tamu di rumah sendiri”.
     
Bagi masyarakat yang coba angkat bicara, paling sedikit berurusan dengan polisi, bahkan diantaranya ada yang pernah dihadiahi “timah panas” oleh oknum berseragam dari Tanjungbalai itu.

Kangkangi Putusan PN Rantauprapat

Akibat sifat tamaknya itu, Ching Kun Cs berulangkali sengketa di lapangan mengarah adu fisik. Kasus paling kontroversi, walau sudah kalah berperkara dengan kawan sebatasnya, Edy Putra Tony, Ching Kun Cs tak mau ambil peduli. Pemilik PT. GDLP/SLJ terang-terangan mengangkangi putusan Pengadilan Negeri (PN) Rantauprapat.

Masalahnya, dengan modal Surat Ijin Prinsip No. 593/580/TTB/1997 didasari Surat Camat Kualuhhulu No. 593.41/784/1994 tentang keberadaan lahan masih belum dimanfaatkan dan Surat No. 593/153/1996 tentang keberadaan lahan terlantar, Ching Kun diwakili Sumardi Syarif, SE menggugat Edy Putra Tony dengan tuduhan menyerobot areal PT. SLJ seluas 410 Ha. Hal tersebut tertuang dalam surat gugatan tertanggal 7 Juli 1999 dengan Register Pendaftaran No. 08/Pdt/G/1999/PN-RAP.
      
Dalam proses persidangan, majelis hakim diketuai RM. Manalu, SH beranggotakan P. Tampubolon, SH, Irwan Efendi, SH dan M. Saragih selaku panitera memutuskan, gugatan Sumardi Syarif, SE mengatasnamakan PT. SLJ dinyatakan tidak dapat diterima.
      
Alasan prinsipil, Edy Putra Tony bisa membuktikan bahwa lahan yang diklaim Pt. SLJ sebagai bagian dari areal izin prinsip mereka secara syah adalah milik Edy Putra Tony yang diperoleh melalui ganti rugi dibuktikan dengan Surat Keterangan Tanah (SKT) dari Kades setempat.
      
Bagi Ching Kun, putusan pengadilan bukanlah merupakan akhir dari petualangan monopoli lahan pertanian di Desa Sukarame, Desa Sukarame Baru (Kecamatan Kualuhhulu) dan Desa Airhitam (Kecamatan Tanjung Leidong). Dengan memanfaatkan jasa preman dan aparat berseragam, Ching Kun kembali menguasai lahan milik Edy Putra Tony.
 
Masyarakat Petani Tuntut Plasma

Sepak terjang Ching Kun dari hari ke hari semakin menakutkan. Sopan santun yang dulu sempat dia perlihatkan ke masyarakat berubah drastis 3600. Bagi masyarakat petani tradisonal, sosok Ching Kun sekarang sudah menjelma menjadi “hantu” yang setiap saat siap menerkam untuk dia jadikan mangsa.
     
Tak tahan menanggung tekanan, ratusan masyarakat petani tradisional yang sudah puluhan tahun menggarap lahan disana sepakat membentuk kelompok-kelompok tani guna mengantisipasi sepak terjang Ching Kun meluluh lantak lahan mereka. Bersama-sama menuntut janji Ching Kun tentang pengeluaran 20% lahan plasma dari luas areal yang digarap (14.000 Ha). Artinya pihak PT. GDLP/SLJ wajib mengeluarkan 2.800 Ha lahan dalam bentuk plasma (14.000 Ha x 20% = 2.800 Ha) kepada petani di 3 Kecamatan (Kualuhhulu, Kualuhhilir, Kualuh Leidong).
      
Luar biasa. Lagi-lagi Ching Kun menunjukkan kaliberitasnya. Kendati berulangkali para petani dibawah komando Ketua Koperasi Unit Desa (KUD) Sumber Rezeki, Aslan Nur Sitompul membuat laporan tertulis atau delegasi, baik kepada Pemda (sekarang Pemkab) Labuhanbatu maupun ke lembaga Legislatif (DPRD) sebagai penyalur aspirasi rakyat, ihwal janji pemberian kebun plasma oleh PT. GDLP/SLJ, ternyata selalu saja kandas ditengah jalan.
      
Berat dugaan, kekuatan “fulus” Ching Kun memang sudah mempengaruhi pihak Pemda maupun oknum anggota dewan saat itu. Tidak puas karena realisasi permasalahan lahan yang dijanjikan Ching Kun berlarut-larut, akhirnya masyarakat dari 3 Kecamatan melakukan aksi unjuk rasa ke Kantor Bupati dan DPRD Labuhanbatu, Rabu (16 April 2003).
     
Aksi yang diikuti ratusan masyarakat petani ini dipimpin langsung oleh Aslan Nur Sitompul, Ketua KUD Sumber Rezeki. Inti tuntutan, selain mendesak supaya penyerahan lahan plasma segera direalisasikan mereka juga mengancam akan menurunkan ribuan massa untuk memaksa Ching Kun merealisasikan janji.
     
Sedihnya, jangankan Bupati – waktu itu – H. Tengku Milwan, Ketua tim sengketa tanah Pemkab Labuhanbatu, Drs. Erwin Harahap, MBA pun sepertinya sengaja menghindar. Kelompok Tani hanya  dilayani oleh sekretaris tim, Romiduk Sitompul, SH. Hasil pertemuan, tetap tak jelas.
      
Sama halnya saat berlangsung dengar pendapat antara masyarakat petani dengan DPRD Labuhanbatu dipimpin Ketua Komisi A, Yusli Panggabean dengan anggotanya Drs. H. Raja Amrul, H. Nasyruddin Daulay, Drs. Sugiarto dan HRE. Matondang. Saat itu para anggota dewan terkesan sangat menggebu, sepertinya benar-benar ingin membela kepentingan rakyat.
      
Atas desakan Drs. H. Raja Amrul dan H. Nasyruddin Daulay, akhirnya pihak PT GDLP/SLJ diwakili Sumardi Syarif, SE terpaksa mengaminkan pengeluaran 2.800 Ha lahan mereka dalam bentuk kebun plasma.
      
Apa lacur? Dengan bermacam dalih, tim sengketa tanah masih belum juga menetapkan pembagian lahan yang dijanjikan Ching Kun. Sementara para wakil rakyat yang semula berkoar-koar seperti benar-benar ingin memperjuangkan nasib “wong cilik”, belakangan nyaris tak terdengar. Nauzubillah.
     
“Sekali Layar Terkembang Surut Kita Berpantang”. Mungkin motto perjungan hasil olah pikir almarhum Jendral Abdul Haris Nasution inilah yang menjadi sugesti masyarakat petani untuk mendapatkan hak demi kelanjutan hidup anak istri. Aksi massa terus digelar, semua cara pendekatan dilakukan Aslan Nur Sitompul Cs di bawah panji KUD Sumber Rezeki. Akhirnya tuntutan petani dikabulkan Bupati Labuhanbatu, H. Tengku Milwan.
      
Hal itu bisa terlaksana sebagai hasil musyawarah mufakat antara para ketua kelompok berikut tiga ratusan orang mewakili petani dengan tim sengketa tanah Pemkab Labuhanbatu diketuai Romiduk Sitompul, SH berlangsung di ruang diklat Kantor Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Labuhanbatu, Kamis (05 Juni 2003).
      
Pertemuan tiga ratusan petani dipimpin Aslan Nur Sitompul (KUD Sumber Rezeki), Ramio, SH (Kelompok Harapan Tani)  dengan tim sengketa tanah Labuhanbatu dihadiri Camat Kualuhhulu (Endar Sakti Hasibuan, Sag), Camat Kualuh Leidong (Drs. Taufik Siregar) dan Kabag Pemerintahan, Pontas Harahap, S Sos tersebut sempat menghangat saling tuding, namun ketua tim Romiduk Sitompul, SH mampu mengatasi setiap perbedaan pendapat.
      
Berdasarkan hasil seleksi dan disetujui seluruh utusan petani yang hadir, ditetapkan  4 Kelompok Tani yang memenuhi semua persyaratan, yakni KUD Sumber Rezeki, Kelompok Tani Harapan Sukarame Baru, Kelompok Tani Airhitam dan KUD Bina Sawita. Masing-masing petani mendapat 1,3 Ha lahan plasma (2.800 Ha : 2017 KK = 1,3 Ha). Selengkapnya, KUD Sumber Rezeki 1.218 anggota, Kelompok Harapan Tani 307 anggota, Kelompok Tani Airhitam 432 anggota dan KUD Bina Sawita 60 anggota.
      
Dasar pembohong. Meskipun Bupati Labuhanbatu H. Tengku Milwan beserta seluruh instansi terkait sudah menandatangani Surat Keputusan (SK) pembagian lahan plasma, namun Ching Kun tidak pernah merealisasikan putusan di lapangan. Dengan seribu satu macam dalih, Ching Kun tetap tidak mau melepaskan sejengkal pun dari lahan yang digarapnya. Malah, di lapangan Ching Kun semakin arogan. Orang-orang suruhannya terus mengintimidasi petani, pondok dan gubuk petani dibakar, tanaman dirusak. Tidak sedikit pula petani dianiaya oleh oknum preman suruhan Ching Kun. Persis Barbar.

Hutan Register/Konservasi

Sepandai-pandai Ching Kun menyimpan bangkai akhirnya tercium juga. Diatas langit masih ada langit. Kebohongan Ching Kun kian terungkap, ternyata 5.500 Ha dari 14.000 Ha lahan yang dia klaim sebagai miliknya itu termasuk hutan register dan diantaranya terdapat hutan-hutan konservasi (suaka alam).
     
Terungkapnya kebohongan Ching Kun ini menyusul turunnya surat resmi Badan Planologi Kehutanan (BPK) Departemen Kehutanan RI No. S.293/VII/PW/2005 ditandatangani Ketua Badan, M. Boen Purnama. Dalam surat tertanggal 21 April 2005 ditujukan kepada Bupati Labuhanbatu  dengan tembusan Menteri Kehutanan, Badan Pertanahan Nasional (BPN), Sekjen Departemen Kehutanan, Dirjen Bina Produksi Kehutanan, Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Dirjen Perkebunan, Gubernur Sumatera Utara dan Kadis Kehutanan Labuhanbatu.
      
BPK meminta kepada Bupati Labuhanbatu segera mencabut izin lokasi PT. SLJ. Alasannya, berdasarkan peta Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sumatera Utara, seluruh areal PT. SLJ dinyatakan sebagai kawasan hutan lindung/ kawasan hutan konservasi dan sama sekali belum memperoleh izin pelepasan kawasan hutan.
      
Kendati PT. SLJ sendiri telah memegang izin prinsip dari Bupati Labuhanbatu plus dukungan Gubsu, Dirjen Perkebunan dan Perda Labuhanbatu seluas ± 5.500 Ha. Apabila pemegang izin melakukan pembukaan kawasan hutan sebelum mendapatkan izin pelepasan kawasan hutan, sesuai pasal 50 Jo pasal 78 UU No. 41 Tahun 1999 adalah pelanggaran dan akan diproses melalui jalur hukum.
      
“Sehubungan dengan hal tersebut, kami meminta Bupati Labuhanbatu segera mencabut izin lokasi yang telah diberikan kepada PT. SLJ  yang berada dalam kawasan hutan,”  desak Kepala BPK dalam suratnya.
      
Bukan Ching Kun namanya kalau tidak pandai berkelit. Walaupun pemerintah pusat melalui BPK Departemen Kehutanan RI secara tegas meminta aktivitas PT. SLJ di stop, Ching Kun tak mau ambil open. Terbukti, kegiatan PT. SLJ masih terus berlangsung hingga sekarang. Yang paling dirugikan atas keluarnya surat tersebut, lagi-lagi masyarakat petani. Bayangkan, sudah 8 tahun (2003 – 2011) menanti 1,3 Ha lahan plasma dari si “pembohong” Ching Kun, 2017 KK petani Labura terpaksa “gigit jari”.
Satu-satunya harapan petani sekarang cuma tertumpu kepada Bupati terpilih Labura, H. Kharuddinsyah Sitorus, SE. Pertanyaannya, apakah sosok pemimpin yang akrab dipanggil “Haji Buyung” dan sangat terkenal kedermawanannya membantu kaum duafa dan wong cilik ini mau memperjuangkan nasib 2.017 KK petani Labura? Insya Allah…


Tidak ada komentar:

Posting Komentar