Catatan : Haris Muda Daulay
Pemred Berita Rakyat
PENGANTAR
Tulisan dalam bentuk catatan ini
sengaja kembali disajikan pada penerbitan Berita Rakyat edisi akhir Maret
sekarang. Selain dimaksudkan berupaya ikut serta “menagih” janji Ching Kun
alias Johan, pengusaha perkebunan dan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) bermarkas di
Desa Sukaramebaru, Kecamatan Kualuhhulu, Labuhanbatu Utara (Labura). Lebih dari
itu - amat sangat tidak mustahil andai Bupati dan wakil rakyat di lembaga
Legislatif terhormat mau - sebagai secuil masukan dan mungkin saja acuan dalam
menyelesaikan permasalahan yang tidak pernah kunjung berujung antara 2.017
Kepala Keluarga (KK) calon petani plasma yang terdaftar di Gabungan Kelompok
Tani (Gapoktan) Sri Sahabat, pimpinan Aslan Nur Sitompul. Semoga tulisan dengan
gaya bahasa
sederhana dan apa adanya ini tidak cuma dilihat dari kacamata negataif melulu.
Spesial kepada Bupati, Ketua DPRD, Sekda dan Asisten Pemerintahan dan Kesra
Setdakab Labura, Drs. H. Amin Daulay, M.Si selaku Ketua Tim Sengketa Tanah.
Mudah-mudahan.
***
PEMBOHONG. Barangkali, inilah kata yang paling pantas dialamatkan kepada
Ching Kun alias Johan, pemilik dua Perusahaan Terbatas (PT) sekaligus. PT.
Graha Dhura Leidong Prima (GDLP) dan PT. Sawita Leidong Jaya (SLJ), keduanya
bermarkas di Desa Sukarame Baru, Kecamatan Kualuhhulu, Kabupaten Labuhanbatu
Utara (Labura). Sebelum dimekarkan, Labura termasuk ke dalam wilayah Labuhanbatu.
Kenapa? Dulu (1996), sebelum Ching Kun berhasil “menancapkan kuku” di Kabupaten
yang sekarang punya motto “Basimpul Kuat Babontuk Elok” ini, perangai
dan tingkah laku pengusaha “mata sipit” dan kroni plus “anak main” terpercayanya,
Sumardi Syarif, SE, terkesan cukup santun.
Diberbagai kesempatan, Ching Kun kerap mempromosikan diri sebagai “putra
daerah” kelahiran Tanjung Leidong dan praktis bisa membabtis diri sebagai “Anak
Kualuh” yang otomatis pula akan memuluskan misi perusahaan di bawah bendera PT.
GDLP/SLJ. Dalam banyak pertemuan dengan kelompok masyarakat, Ching Kun kerap
mengulurkan tangan membantu, baik dalam bentuk finansial maupun kebutuhan lain
yang dihajatkan masyarakat.
Dengan dalih ingin membangun daerah kelahiran serta konon berupaya memancing
investor lain ikut menanamkan modal disana, akhirnya Ching Kun bisa leluasa
malang melintang di 3 Kecamatan (Kualuhhulu, Kualuhhilir, Kualuh Leidong)
seraya mengumbar janji akan mensejahterakan masyarakat dengan perolehan
pendapatan perkapita yang aduhai, asalkan kedua PT miliknya bisa beroperasi
membuka lahan perkebunan dan Pabrik Kelapa Sawit (PKS).
Kala itu, masyarakat di tiga Kecamatan tersebut merasa terbuai sambil
manggut-manggut tanda setuju mendengar paparan konsep muluk yang sengaja
dikemas secara apik oleh pengusaha penduduk kota
Medan ini.
Lebih terlena lagi, saat Ching Kun menjanjikan akan mengeluarkan 20% dari
jumlah lahan yang dia olah kepada masyarakat petani dalam bentuk kebun plasma.
Namun belakangan, itikad tidak baik Ching Kun mulai ketahuan. Menganggap semua
masalah lapangan sudah bisa dia atur, tingkah laku Ching Kun mendadak berubah
drastis.
Ternyata
Ching Kun tidak hanya bermaksud membuka usaha perkebunan dan PKS di Desa
Sukaramebaru, lebih maju lagi, rupanya pengusaha asal Medan yang sering mengaku
“putra daerah” itu ingin memonopoli seluruh lahan pertanian di seputaran areal
izin prinsip.
Berbekal Surat Izin Prinsip yang dikeluarkan Bupati Labuhanbatu – waktu itu –
H. Banua Isfenyah Rambe dibantu Kepala Desa Sukarame (Alm. Sidar) dan Kades
Sukaramebaru (Sutardi), Ching Kun melalui lobi-lobi cantik “anak main” nya,
Sumardi, SE berhasil menguasai puluhan ribu hektar tanah dengan cara ganti
rugi/jual beli fiktif.
Melihat
sepak terjang Ching Kun dinilai amat sangat cekatan di lapangan, masyarakat
yang sudah puluhan tahun berdomisili disana sebagai petani tradisional mulai
gelisah. “jangan-jangan lahan pertanian kami pun bakalan digarap Ching Kun, “
begitu kata hati petani mereka reka.
Tak pelak, keangkuhan Ching Kun
semakin kelihatan. Apa yang selama ini digelisahkan petani tradisional menjadi
kenyataan. Ching Kun merambah dan terus merambah semua lahan pertanian yang ada
diseputaran arealnya. Tak peduli itu milik siapa.
Untuk
mempertahankan keberadaan areal garapannya, Ching Kun sudah tidak lagi ambil
peduli terhadap masyarakat petani. Kalau perlu main gimbal. Kecuali
mengandalkan oknum berseragam yang di “order” dari salah satu kesatuan di
Tanjungbalai, Ching Kun juga ‘menyewa” sejumlah bodyguard bertitel preman.
Makanya jangan heran, sejak Ching Kun menguasai puluhan ribu hektar lahan di
tiga Kecamatan tersebut, warga desa sudah merasa seperti “tamu di rumah
sendiri”.
Bagi
masyarakat yang coba angkat bicara, paling sedikit berurusan dengan polisi,
bahkan diantaranya ada yang pernah dihadiahi “timah panas” oleh oknum
berseragam dari Tanjungbalai itu.
Kangkangi Putusan PN
Rantauprapat
Akibat sifat tamaknya itu, Ching Kun Cs berulangkali sengketa di lapangan
mengarah adu fisik. Kasus paling kontroversi, walau sudah kalah berperkara
dengan kawan sebatasnya, Edy Putra Tony, Ching Kun Cs tak mau ambil peduli.
Pemilik PT. GDLP/SLJ terang-terangan mengangkangi putusan Pengadilan Negeri
(PN) Rantauprapat.
Masalahnya, dengan modal Surat
Ijin Prinsip No. 593/580/TTB/1997 didasari Surat Camat Kualuhhulu No.
593.41/784/1994 tentang keberadaan lahan masih belum dimanfaatkan dan Surat No.
593/153/1996 tentang keberadaan lahan terlantar, Ching Kun diwakili Sumardi
Syarif, SE menggugat Edy Putra Tony dengan tuduhan menyerobot areal PT. SLJ
seluas 410 Ha. Hal tersebut tertuang dalam surat gugatan tertanggal 7 Juli 1999 dengan
Register Pendaftaran No. 08/Pdt/G/1999/PN-RAP.
Dalam proses persidangan, majelis hakim diketuai RM. Manalu, SH beranggotakan
P. Tampubolon, SH, Irwan Efendi, SH dan M. Saragih selaku panitera memutuskan,
gugatan Sumardi Syarif, SE mengatasnamakan PT. SLJ dinyatakan tidak dapat
diterima.
Alasan prinsipil, Edy Putra Tony bisa membuktikan bahwa lahan yang diklaim Pt.
SLJ sebagai bagian dari areal izin prinsip mereka secara syah adalah milik Edy
Putra Tony yang diperoleh melalui ganti rugi dibuktikan dengan Surat Keterangan
Tanah (SKT) dari Kades setempat.
Bagi Ching Kun, putusan pengadilan bukanlah merupakan akhir dari petualangan
monopoli lahan pertanian di Desa Sukarame, Desa Sukarame Baru (Kecamatan
Kualuhhulu) dan Desa Airhitam (Kecamatan Tanjung Leidong). Dengan memanfaatkan
jasa preman dan aparat berseragam, Ching Kun kembali menguasai lahan milik Edy Putra
Tony.
Masyarakat Petani Tuntut
Plasma
Sepak
terjang Ching Kun dari hari ke hari semakin menakutkan. Sopan santun yang dulu
sempat dia perlihatkan ke masyarakat berubah drastis 3600. Bagi
masyarakat petani tradisonal, sosok Ching Kun sekarang sudah menjelma menjadi
“hantu” yang setiap saat siap menerkam untuk dia jadikan mangsa.
Tak
tahan menanggung tekanan, ratusan masyarakat petani tradisional yang sudah
puluhan tahun menggarap lahan disana sepakat membentuk kelompok-kelompok tani
guna mengantisipasi sepak terjang Ching Kun meluluh lantak lahan mereka.
Bersama-sama menuntut janji Ching Kun tentang pengeluaran 20% lahan plasma dari
luas areal yang digarap (14.000 Ha). Artinya pihak PT. GDLP/SLJ wajib
mengeluarkan 2.800 Ha lahan dalam bentuk plasma (14.000 Ha x 20% = 2.800 Ha)
kepada petani di 3 Kecamatan (Kualuhhulu, Kualuhhilir, Kualuh Leidong).
Luar biasa. Lagi-lagi Ching Kun menunjukkan kaliberitasnya. Kendati
berulangkali para petani dibawah komando Ketua Koperasi Unit Desa (KUD) Sumber
Rezeki, Aslan Nur Sitompul membuat laporan tertulis atau delegasi, baik kepada
Pemda (sekarang Pemkab) Labuhanbatu maupun ke lembaga Legislatif (DPRD) sebagai
penyalur aspirasi rakyat, ihwal janji pemberian kebun plasma oleh PT. GDLP/SLJ,
ternyata selalu saja kandas ditengah jalan.
Berat dugaan, kekuatan “fulus” Ching Kun memang sudah mempengaruhi pihak Pemda
maupun oknum anggota dewan saat itu. Tidak puas karena realisasi permasalahan
lahan yang dijanjikan Ching Kun berlarut-larut, akhirnya masyarakat dari 3
Kecamatan melakukan aksi unjuk rasa ke Kantor Bupati dan DPRD Labuhanbatu, Rabu
(16 April 2003).
Aksi
yang diikuti ratusan masyarakat petani ini dipimpin langsung oleh Aslan Nur
Sitompul, Ketua KUD Sumber Rezeki. Inti tuntutan, selain mendesak supaya
penyerahan lahan plasma segera direalisasikan mereka juga mengancam akan
menurunkan ribuan massa
untuk memaksa Ching Kun merealisasikan janji.
Sedihnya, jangankan Bupati – waktu itu – H. Tengku Milwan, Ketua tim sengketa
tanah Pemkab Labuhanbatu, Drs. Erwin Harahap, MBA pun sepertinya sengaja
menghindar. Kelompok Tani hanya dilayani oleh sekretaris tim, Romiduk
Sitompul, SH. Hasil pertemuan, tetap tak jelas.
Sama halnya saat berlangsung dengar pendapat antara masyarakat petani dengan
DPRD Labuhanbatu dipimpin Ketua Komisi A, Yusli Panggabean dengan anggotanya
Drs. H. Raja Amrul, H. Nasyruddin Daulay, Drs. Sugiarto dan HRE. Matondang.
Saat itu para anggota dewan terkesan sangat menggebu, sepertinya benar-benar
ingin membela kepentingan rakyat.
Atas desakan Drs. H. Raja Amrul dan H. Nasyruddin Daulay, akhirnya pihak PT
GDLP/SLJ diwakili Sumardi Syarif, SE terpaksa mengaminkan pengeluaran 2.800 Ha
lahan mereka dalam bentuk kebun plasma.
Apa lacur? Dengan bermacam dalih, tim sengketa tanah masih belum juga
menetapkan pembagian lahan yang dijanjikan Ching Kun. Sementara para wakil
rakyat yang semula berkoar-koar seperti benar-benar ingin memperjuangkan nasib
“wong cilik”, belakangan nyaris tak terdengar. Nauzubillah.
“Sekali
Layar Terkembang Surut Kita Berpantang”. Mungkin motto perjungan hasil olah
pikir almarhum Jendral Abdul Haris Nasution inilah yang menjadi sugesti
masyarakat petani untuk mendapatkan hak demi kelanjutan hidup anak istri. Aksi massa terus digelar, semua
cara pendekatan dilakukan Aslan Nur Sitompul Cs di bawah panji KUD Sumber
Rezeki. Akhirnya tuntutan petani dikabulkan Bupati Labuhanbatu, H. Tengku
Milwan.
Hal itu bisa terlaksana sebagai hasil musyawarah mufakat antara para ketua
kelompok berikut tiga ratusan orang mewakili petani dengan tim sengketa tanah
Pemkab Labuhanbatu diketuai Romiduk Sitompul, SH berlangsung di ruang diklat
Kantor Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Labuhanbatu, Kamis (05 Juni 2003).
Pertemuan tiga ratusan petani dipimpin Aslan Nur Sitompul (KUD Sumber Rezeki),
Ramio, SH (Kelompok Harapan Tani) dengan tim sengketa tanah Labuhanbatu
dihadiri Camat Kualuhhulu (Endar Sakti Hasibuan, Sag), Camat Kualuh Leidong
(Drs. Taufik Siregar) dan Kabag Pemerintahan, Pontas Harahap, S Sos tersebut
sempat menghangat saling tuding, namun ketua tim Romiduk Sitompul, SH mampu
mengatasi setiap perbedaan pendapat.
Berdasarkan hasil seleksi dan disetujui seluruh utusan petani yang hadir,
ditetapkan 4 Kelompok Tani yang memenuhi semua persyaratan, yakni KUD
Sumber Rezeki, Kelompok Tani Harapan Sukarame Baru, Kelompok Tani Airhitam dan
KUD Bina Sawita. Masing-masing petani mendapat 1,3 Ha lahan plasma (2.800 Ha :
2017 KK = 1,3 Ha). Selengkapnya, KUD Sumber Rezeki 1.218 anggota, Kelompok Harapan
Tani 307 anggota, Kelompok Tani Airhitam 432 anggota dan KUD Bina Sawita 60
anggota.
Dasar pembohong. Meskipun Bupati Labuhanbatu H. Tengku Milwan beserta seluruh
instansi terkait sudah menandatangani Surat Keputusan (SK) pembagian lahan
plasma, namun Ching Kun tidak pernah merealisasikan putusan di lapangan. Dengan
seribu satu macam dalih, Ching Kun tetap tidak mau melepaskan sejengkal pun
dari lahan yang digarapnya. Malah, di lapangan Ching Kun semakin arogan.
Orang-orang suruhannya terus mengintimidasi petani, pondok dan gubuk petani
dibakar, tanaman dirusak. Tidak sedikit pula petani dianiaya oleh oknum preman
suruhan Ching Kun. Persis Barbar.
Hutan Register/Konservasi
Sepandai-pandai Ching Kun menyimpan bangkai akhirnya tercium juga. Diatas
langit masih ada langit. Kebohongan Ching Kun kian terungkap, ternyata 5.500 Ha
dari 14.000 Ha lahan yang dia klaim sebagai miliknya itu termasuk hutan
register dan diantaranya terdapat hutan-hutan konservasi (suaka alam).
Terungkapnya kebohongan Ching Kun ini menyusul turunnya surat resmi Badan Planologi Kehutanan (BPK)
Departemen Kehutanan RI No. S.293/VII/PW/2005 ditandatangani Ketua Badan, M.
Boen Purnama. Dalam surat tertanggal 21 April 2005 ditujukan kepada Bupati
Labuhanbatu dengan tembusan Menteri Kehutanan, Badan Pertanahan Nasional
(BPN), Sekjen Departemen Kehutanan, Dirjen Bina Produksi Kehutanan, Dirjen
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Dirjen Perkebunan, Gubernur Sumatera
Utara dan Kadis Kehutanan Labuhanbatu.
BPK meminta kepada Bupati Labuhanbatu segera mencabut izin lokasi PT. SLJ.
Alasannya, berdasarkan peta Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi
Sumatera Utara, seluruh areal PT. SLJ dinyatakan sebagai kawasan hutan lindung/
kawasan hutan konservasi dan sama sekali belum memperoleh izin pelepasan
kawasan hutan.
Kendati PT. SLJ sendiri telah memegang izin prinsip dari Bupati Labuhanbatu
plus dukungan Gubsu, Dirjen Perkebunan dan Perda Labuhanbatu seluas ± 5.500 Ha.
Apabila pemegang izin melakukan pembukaan kawasan hutan sebelum mendapatkan
izin pelepasan kawasan hutan, sesuai pasal 50 Jo pasal 78 UU No. 41 Tahun 1999
adalah pelanggaran dan akan diproses melalui jalur hukum.
“Sehubungan dengan hal tersebut, kami meminta Bupati Labuhanbatu segera mencabut
izin lokasi yang telah diberikan kepada PT. SLJ yang berada dalam kawasan
hutan,” desak Kepala BPK dalam suratnya.
Bukan Ching Kun namanya kalau tidak pandai berkelit. Walaupun pemerintah pusat
melalui BPK Departemen Kehutanan
RI secara tegas meminta aktivitas
PT. SLJ di stop, Ching Kun tak mau ambil open. Terbukti, kegiatan PT. SLJ masih
terus berlangsung hingga sekarang. Yang paling dirugikan atas keluarnya surat tersebut, lagi-lagi
masyarakat petani. Bayangkan, sudah 8 tahun (2003 – 2011) menanti 1,3 Ha lahan
plasma dari si “pembohong” Ching Kun, 2017 KK petani Labura terpaksa “gigit
jari”.
Satu-satunya harapan petani
sekarang cuma tertumpu kepada Bupati terpilih Labura, H. Kharuddinsyah Sitorus,
SE. Pertanyaannya, apakah sosok pemimpin yang akrab dipanggil “Haji Buyung” dan
sangat terkenal kedermawanannya membantu kaum duafa dan wong cilik ini mau
memperjuangkan nasib 2.017 KK petani Labura? Insya Allah…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar